wmhg.org – JAKARTA. Ekonom Universitas Paramadina Jakarta, Wijayanto Samirin memperkirakan rasio utang pemerintah bisa melonjak hingga 41% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2026 apabila pemerintah tidak hati-hati, dan terus melakukan financial engineering atau creative accounting APBN seperti selama ini dilakukan.
Untuk diketahui, posisi utang pemerintah hingga 31 Mei 2024 mencapai Rp 8.353,02 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,71%.
Samirin menyampaikan, rasio utang pemerintah juga akan semakin parah mengingat, rasio pajak belum akan naik dalam 3 tahun ke depan, akibat perlambatan ekonomi, beban bayar utang yang besar, dan insentif pajak berlebih yang dilakukan beberapa tahun terakhir.
Adapun financial engineering yang dimaksud adalah dengan menjaga defisit dibawah 3% PDB, tetapi melempar pekerjaan dan proyek besar ke BUMN yang dibiayai dengan PMN (penyertaan modal negara) atau penjaminan utang.
“Ini terjadi di proyek jalan tol, kereta cepat dan lainnya. Ujung-ujungnya akan dibiayai utang juga sehingga utang melejit, tetapi tidak melanggar ketentuan defisit 3% PDB,” tutur Samirin kepada Kontan, Senin (12/8).
Dengan perkiraan rasio utang akan mencapai 41% dari PDB tersebut, Ia memperkirakan biaya bunga utang juga akan semakin tinggi. Alhasil, Indonesia akan sulit keluar dari jebakan utang.
Untuk keluar dari jebakan utang tersebut, Samirin menghimbau agar pemerintahan baru tegas dalam melakukan rasionalisasi pengeluaran secara masif.
Saran tersebut tersebut bisa dilakukan diantaranya dengan, menunda proyek besar Presiden Jokowi yang dinilai boros anggaran tetapi tidak berdampak kepada ekonomi. Misalnya saja pembangunan IKN, ekspansi kereta cepat, ekspansi jalan tol untuk daerah-daerah yang belum perlu.
Selanjutnya, pemerintahan baru bisa menunda pembentukan provinsi baru yang akan membuat biaya birokrasi meningkat.
Samirin juga menyarankan agar kabinet di pemerintahan baru bisa lebih ramping, sehingga tidak membebani APBN.
“Utamakan investasi sebagai sumber dana, jadikan utang sebagai alternatif kedua atau pelengkap,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Samirin juga menyarankan agar pemerintahan baru nantinya kembali membuka pinjaman dari lembaga internasional dan bilateral atau multilateral. Menurutnya pemerintah perlu lebih banyak pemasok dana.
“Terhitung saat ini 90% sudah dari surat utang yang bergantung pada market atau retail, selain mahal juga berisiko karena volatile dan pasar bisa exit kapanpun mereka mau,” terangnya.
Selain itu, Ia juga menyebut proyek yang sebagian dibiayai oleh dana dari lembaga internasional, bilateral, atau multilateral biasanya mempunyai kualitas yang lebih bagus, baik dari sisi governance, planning, maupun delivery fisik.
“Bandingkan saja MRT yang dibiayai Jepang dengan Kereta Cepat dan LRT yang dibiayai utang SBN yang dilewatkan APBN, kualitasnya seperti bumi dan langit,” tandasnya.