wmhg.org – JAKARTA. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada satu pun perusahaan yang memperoleh izin untuk mengelola atau mengekspor pasir laut hasil sedimentasi.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Viktor Gustaaf Manoppo mengatakan bahwa KKP belum mengeluarkan izin terkait operasional pengelolaan hasil sedimentasi laut.
Secara regulasi, KKP belum mengeluarkan satu lembar izin kepada siapa pun terkait operasional pengelolaan hasil sedimentasi, ujar Viktor dalam pernyataannya pada Jumat (11/10).
Viktor menambahkan bahwa kebijakan ini dijalankan dengan sangat hati-hati, termasuk upaya mengendalikan pencurian pasir laut yang masih kerap terjadi di perairan Indonesia.
Baru-baru ini, KKP berhasil menghentikan dua kapal berbendera Singapura yang kedapatan mencuri pasir laut di perairan Kepulauan Riau.
Kedua kapal tersebut membawa sekitar 10.000 meter kubik pasir laut dan dioperasikan oleh 16 anak buah kapal (ABK), yang terdiri dari dua warga negara Indonesia (WNI), satu warga negara Malaysia, dan 13 warga negara China.
Menurut pengakuan nahkoda kapal, mereka telah melakukan pencurian pasir sebanyak 10 kali dalam sebulan, dengan setiap perjalanan memakan waktu tiga hari.
Ini berarti mereka mampu mencuri hingga 100.000 meter kubik pasir laut Indonesia dalam satu bulan.
Viktor menjelaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan pencurian tersebut dapat mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.
Hal ini menjadi salah satu alasan kuat di balik penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi di Laut, yang menjadi landasan hukum dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Jika dihitung, total potensi kerugian negara akibat pencurian ini bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Itu baru dari pasir laut, belum lagi dari potensi pendapatan lain yang hilang, jelas Viktor.
Pemerintah baru-baru ini membuka kembali kebijakan ekspor pasir laut setelah 20 tahun lamanya dilarang, yang kemudian menuai banyak kritik.
Kebijakan ini dianggap oleh beberapa pihak hanya menguntungkan kalangan tertentu dan tidak memperhitungkan dampak negatif terhadap lingkungan serta kehidupan nelayan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa kebijakan ekspor pasir laut dapat merugikan sektor perikanan dan memicu pengangguran di kalangan nelayan.
Bhima menyebutkan bahwa ekspor 2,7 juta meter kubik pasir laut berpotensi mengurangi nilai tambah bruto sektor perikanan hingga Rp1,59 triliun, yang berdampak pada hilangnya pendapatan nelayan hingga Rp999 miliar serta berkurangnya lapangan pekerjaan bagi sekitar 36.400 pekerja di sektor perikanan.
Ekspor pasir laut justru berisiko menciptakan pengangguran di kawasan pesisir, tegas Bhima.
Degradasi ekosistem laut yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut akan mengurangi hasil tangkapan ikan, sehingga mengancam mata pencaharian para nelayan di daerah pesisir.