wmhg.org – JAKARTA. The Fed diproyeksikan akan memangkas suku bunganya pada pada September 2024 ini. Penantian ini menjadi angin segar bagi kinerja emiten saham sektor perbankan sebagai momentum turn around di sisa akhir tahun 2024.
Meskipun pada penutupan perdagangan per Kamis (29/8), emiten bank menjadi pemberat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Saham Indonesia.
Dimana Top Laggards yang menjadi pemberat utama penurunan IHSG di antaranya ada saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan kontribusinya sebesar 11,08 poin, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar 8,13 poin.
Sementara saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) berkontribusi 3,59 poin, dan kontribusi PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) sebesar 2,66 poin.
Sebelumnya, dalam sepekan lalu, saham emiten bank berkontribusi sebagai penyokong utama kenaikan IHSG, di antaranya BBRI berkontribusi sebesar 45,92 poin, saham BBNI berkontribusi sebesar 5,31 poin.
BBRI Chart by TradingView
Para analis memproyeksikan, dengan adanya peluang terbuka penurunan suku bunga The Fed pada September ini akan menjadi turn around bagi saham emiten sektor perbankan.
Analis dan pengamat pasar modal Satrio Utomo mengatakan, ke depan dengan adanya penurunan suku bunga akan menunjukkan kondisi ekonomi yang cenderung ekspansif ke depannya.
“Kalau saat ini ada isu likuiditas bank ketat, maka ke depan tidak akan terjadi lagi, saat ini memang kondisi dari bisnis bank sedang tidak bagus karena NPL naik, pencadangan juga tinggi, jadi dengan penurunan suku bunga ke depan kondisi ini akan lebih longgar dan lebih baik lagi,” ungkap Satrio kepada Kontan, Kamis (29/8).
Lebih lanjut, Satrio berharap banyak pada emiten Bank KBMI 4 terutama Bank BUMN kembali membaik kinerja, seperti BBRI. Pasalnya beberapa waktu lalu saham-saham emiten bank BUMN mengalami babak belur karena hasil kinerja yang tidak sesuai dengan ekspekstasi pasar.
“Terutama BBRI yang saya suka, kinerjanya memang di bawah ekspektasi, ini juga yang membuat investor sempat melakukan tekanan jual yang cukup besar, tapi masalah ini diharapkan cepat selesai,” ungkap dia.
Satrio memproyeksikan dalam jangka pendek, potensi kenaikan saham BBRI terbuka dengan kenaikan harga bisa menyentuh Rp 6.000, sehingga bisa menjadi pilihan bagi investor jika ingin melakukan buy.
Di sisi lain, saham-saham emiten bank kecil seperti bank digital, disebut Satrio sudah mahal, belum lagi PER yang sangat tinggi di atas 200.
“Seperti ARTO, memang PER nya mahal, dan bank ini memang masih berharap dengan perbaikan fundamental untuk jangka pendek, tapi overall masih oke. Bagi investor saran saya lebih berhati-hati pada saham bank digital, karena cenderung digoreng sahamnya, lebih cocok untuk trading” ungkap Satrio.
Lebih jauh, Satrio menyarankan agar investor saham bank dapat memperhatikan emiten bank-bank yang sering bagikan dividen interim yang biasanya dibagikan pada bulan November atau Desember, seperti emiten big caps BBRI karena masih murah.
Sementara BBNI harganya juga masih relatif di murah, kemudian BBCA dan BMRI.
Meskipun, saham bank lapis dua seperti BNGA, NISP, BNLI yang juga masih memiliki harga yang murah dan sering bagikan dividen, dianggap Satrio masih cukup menarik untuk akumulatif buy.
“Namun kalau saya sukanya saham big caps, rata-rata big caps PER nya di bawah 15%, jadi yaa cukup murah. Kalau PER di atas 20 sudah mulai mahal. Sehingga untuk saham big caps rekomendasinya buy. Posisi sekarang itu BBCA PER nya sudah 24 ya, masih PER wajarnya market, tapi BMRI, BBNI, BBRI, PER nya masih single digit, relative masih murah,” jelas Satrio.
Meski dari semua hal tersebut, Satrio menegaskan dengan adanya penurunan suku bunga, semua investor nantinya akan kembali melirik saham emiten keuangan seperti bank.
Senada, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia M. Nafan Aji Gusta juga merekomendasikan saham-saham potensial seperti big caps.
“Saya rekomendasikan saham-saham BBCA – BBNI – BBRI – BMRI dan BRIS, fundamentalnya bagus, rutin bagikan dividen,” kata dia.
Lebih rinci, Nafan merekomendasikan akumulatif buy pada saham-saham bank tersebut, dengan target price BBNI sebesar Rp 6.325, BBRI dengan target price Rp 6.000, BBCA dengan Rp 12.000 dan saham BMRI di Rp 9.500. Sementara saham BRIS akumulatif buy Rp 3.000.
Adapun Analis BCA Sekuritas Achmad Yaki mengatakan, dengan likuiditas yang saat ini memang ketat namun masih potensi aman, dan potenis penurunan suku bunga bisa membantu menjaga NIM perbankan.
“Mahal murah sebearnya relative, tergantung pertumbuhan kinerja dan NIM nya, misalnya BBCA secara PBV tinggi namun saham ini dividen nya ebsar dan Harga nya terus tumbuh jadi masih layak untuk investasi,” ungkap Yaki.
Lebih lanjut Yaki menyebut, investor dapat HOLD saham bank tersebut dengan pertimbangan rata-rata pertumbuhan harga minimal 4 sampai 5 tahun terakhir, ditambah dengan dividen yang dibagikan oleh emiten bank tersebut.
“Untuk trading juga menarik karena volatilitas saham banking seperti BBNI dan BMRI juga menarik sih,” tambahnya.
Yaki merekomendasikan target price saham-saham tersebut, dengan rincian, saham BBNI buy di harga Rp 6.075, BBTN buy di harga Rp 1.700.
Sementara untuk saham lainnya direkomendasikan trading buy, seperti BBRI Trading Buy di harga Rp 5.650, BBCA di harga Rp10.800, BMRI Trading Buy di harga Rp 7.575, saham BBYB Trading Buy di harga Rp 314. Adapun saham ARTO direkomendasikan Sell On Strength di harga Rp 2.970.