wmhg.org – JAKARTA. BRI Danareksa mempertahankan pandangan sektor industri logam, khususnya untuk emiten timah dan nikel.
Meski harga kedua komoditas tersebut bergerak fluktuatif di semester I 2024, harganya diperkirakan akan lebih stabil di semester II 2024.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Timothy Wijaya mengatakan bahwa pada Juni 2024, impor bijih timah China melonjak menjadi 12,8 kilo ton (kt). Angka itu naik 52% secara bulanan (MoM), tetapi turun 41% secara tahunan (YoY).
Kenaikan impor didorong oleh pengiriman yang lebih kuat dari Republik Demokratik Kongo. Namun, impor di semester I 2024 masih turun 20% YoY di 91,9kt karena berkurangnya pasokan dari Myanmar.
Demikian pula, impor timah batangan mencapai level terendah dalam dua tahun terakhir sebesar 189 ton, atau turun 70% MoM dan ambles 92% YoY. Sehingga impor hingga Juni 2024 turun menjadi 7,6kt, atau sebesar 48% YoY karena pabrik peleburan swasta di Indonesia menghadapi keterbatasan kuota ekspor
Saat ini, kami percaya harga akan tetap kuat, mengingat pemasok bijih timah utama China di Myanmar dan Republik Demokratik Kongo sedang bergulat dengan tantangan domestik, tulisnya dalam riset, Senin (29/7).
Selain itu, permintaan yang kuat terlihat dari persediaan di bursa (SHFE dan LME) yang mengalami penurunan 12% selama dua minggu terakhir. Meskipun memang, terjadi penurunan harga timah 16% dari puncaknya di US$ 35 ribu per ton, yang mengimplikasikan kuatnya permintaan dari pengguna akhir.
Untuk nikel, Timothy memaparkan bahwa berdasarkan Kementerian ESDM, penerbitan RKAB bijih nikel sebesar 240mt telah melebihi permintaan saat ini sebesar 210Mt.
TINS Chart by TradingView
Namun, karena sebagian besar dari jumlah tersebut baru diterbitkan pada bulan Juni, ia meyakini terdapat keterlambatan produksi, yang menyebabkan ketatnya pasar dimana bijih dijual dengan harga yang lebih tinggi dari patokan.
Selain itu, meskipun ada tantangan cuaca yang menunda pengiriman, beberapa smelter telah meningkatkan impor dari Filipina. Namun demikian, harga bijih mengalami sedikit penurunan di bulan Juli seiring dengan penurunan harga nikel LME, meskipun harga acuan tetap tinggi, paparnya.
Timothy mencatat adanya konvergensi antara harga NPI dan LME. NPI naik 2,3% MtD, sementara LME turun 8,7% MTD. Ia berkeyakinan bahwa sedikit peningkatan pada harga NPI didorong oleh biaya bijih yang lebih tinggi.
Namun ketika memasuki musim sepi permintaan, kami memperkirakan permintaan baja nirkarat akan menurun, seiring dengan melemahnya NPI.
Oleh karena itu, kami menegaskan kembali estimasi harga di 2024 sebesar US$ 11,5 ribu per ton, katanya.
Sementara itu, harga LME melemah sementara produk intermediate (Sulfat dan MHP) tetap stabil secara
. Ia menduga disebabkan oleh meningkatnya waran di bursa LME.
Dalam skenario ini, produsen nikel matte, yakni INCO dan MBMA menjadi pihak yang paling dirugikan karena hutang mereka terhadap LME, paparnya.
Pihaknya mengantisipasi pasar nikel yang lebih tenang di semester II 2024 karena Indonesia memasuki musim sepi untuk baja nirkarat.
Oleh karena itu, Timothy memperkirakan harga acuan akan berada di kisaran US$ 11,5 – US$ 12 ribu per ton dengan volatilitas yang lebih rendah.
Kami mempertahankan peringkat overweight pada sektor ini, dengan urutan TINS, NCKL, MBMA, MDKA, ANTM, INCO, imbuhnya.