wmhg.org – BEKASI. Kemandirian di sektor industri alat kesehatan (alkes) di Indonesia dinilai perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik dari pelaku industri maupun kementerian dan lembaga pemerintah sebagai pemangku kepentingan.
Himpunan Pengembangan Ekosistem Alkes Indonesia (HIPELKI) menyatakan bahwa saat ini Indonesia masih berfokus pada pembangunan pabrik alkes dan proteksi, namun belum maksimal dalam membangun industri alkes yang mandiri.
Ekosistem di sekitar pabrik alkes masih belum berkembang dengan baik, sehingga mempengaruhi kemampuan industri alkes dalam negeri untuk bersaing dengan produk impor.
Ketua HIPELKI, Randy H. Teguh, menyampaikan bahwa Indonesia masih kekurangan bahan baku, komponen alkes, dan sarana laboratorium uji yang memadai. Kondisi ini menyebabkan harga alkes dalam negeri sulit bersaing dengan alkes impor.
Saat ini Indonesia belum memiliki bahan baku dan komponen alkes serta sarana lab uji yang memadai untuk mendukung operasional pabrik alkes secara efektif dan efisien, ungkap Randy dalam Kongres Nasional Pertama HIPELKI dengan tema HIPELKI: Katalisator Transformasi Ekosistem Kesehatan Menuju Ketahanan dan Kemandirian Alkes, pada Kamis (29/8).
Di sisi lain, Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kementerian Perindustrian, Yan Sibarang Tandiele, menyebutkan bahwa spektrum industri alkes dalam negeri sangat luas, dan Indonesia sudah cukup mumpuni untuk industri alkes kelas bawah dan menengah.
Untuk industri alkes kelas bawah dan menengah, Indonesia sudah diproduksi dalam negeri semua, kata Yan.
Namun, untuk industri alkes tingkat menengah dan tinggi, Indonesia masih dalam tahap pengembangan penguasaan teknologi.
Yan menyebut bahwa upaya mendorong penguasaan teknologi sedang berjalan dengan instrumen-instrumen yang sudah ada, salah satunya melalui Inpres No 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alkes, yang melibatkan 12 kementerian terkait.
Dari sisi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Direktur Penyediaan Tenaga Kesehatan, Oos Fatimah Rosyati, menyoroti beberapa isu strategis dalam industri alkes, salah satunya adalah ketergantungan pada impor bahan baku.
Indonesia masih banyak tergantung pada impor, atau bisa kita sampaikan masih kurang untuk kemandirian. Angkanya 90% bahan baku masih impor, jelas Oos.
Selain itu, Oos menambahkan bahwa riset yang minim juga menjadi kendala dalam pengembangan alkes dalam negeri.
Saat ini, hanya 0,2% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) yang digunakan untuk penelitian, jumlah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.
Meskipun demikian, Oos menilai bahwa pasar alkes di Indonesia sangat besar, didukung oleh jumlah penduduk yang hampir mencapai 280 juta jiwa.
Untuk mendukung kemandirian alkes dalam negeri, Kemenkes sedang mempersiapkan Science Techno Park Alat Kesehatan yang diharapkan dapat mendorong inovasi alkes melalui hilirisasi dan komersialisasi hasil penelitian.
Dengan adanya fasilitas ini, diharapkan para peneliti dapat mengembangkan inovasi alkes yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.