Baca 10 detikPresiden Prabowo kirim surat ke DPR untuk ganti Kapolri.Komjen Suyudi dan Komjen Dedi jadi kandidat kuat pengganti.Pengamat ingatkan risiko masa jabatan Kapolri yang terlalu panjang.[batas-kesimpulan]
wmhg.org – Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, memberikan peringatan keras potensi bahaya masa jabatan yang terlalu panjang bagi calon pimpinan Polri.
Peringatan ini merespons kemunculan nama Komjen Pol Suyudi Ario Seto, yang diisukan menjadi calon kuat pengganti Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Bambang menjelaskan bahwa Suyudi baru akan pensiun pada 2031, memberinya masa dinas yang sangat panjang.
“Artinya, memiliki usia dinas yang masih panjang,” kata Bambang kepada wmhg.org, Sabtu (13/9/2025).
Menurut Bambang, hal ini justru bisa menjadi kerentanan.
“Kecenderungan kekuasaan yang panjang sangat rentan penyalah gunaan. Tidak ada jaminan bahwa pemegang kekuasaan atau kewenangan yang besar kuat menjaga integritas. Makanya kekuasaan harus dibatasi,” tuturnya.
Untuk memitigasi risiko tersebut, Bambang mengusulkan sebuah kriteria krusial bagi Kapolri berikutnya.
“Akan lebih elok next Kapolri hanya memiliki rentang usia jabatan maksimal 3 tahun sebelum pensiun,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dikabarkan telah mengambil langkah konkret dengan mengirimkan surat ke DPR terkait penggantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Langkah ini seolah menjadi jawaban atas desakan publik yang semakin kuat dalam beberapa pekan terakhir. Tekanan terhadap Jenderal Listyo Sigit memang bukan isapan jempol.
Serangkaian peristiwa krusial telah menempatkan posisinya dalam sorotan tajam.
Desakan untuk pencopotannya telah dikan oleh berbagai pihak, mulai dari pengamat keamanan hingga kelompok mahasiswa.
Pemicu utamanya adalah dua insiden besar yang terjadi dalam waktu berdekatan.

Pertama, insiden tragis yang menimpa seorang pengemudi ojek online Affan Kurniawan, yang tertabrak oleh anggota Brimob pada akhir Agustus lalu.
Kasus ini dengan cepat memicu kemarahan publik dan mempertanyakan kembali profesionalisme serta akuntabilitas aparat di lapangan.
Kedua, yakni kegagalan aparat dalam mengamankan gelombang unjuk rasa besar di Jakarta dan sejumlah kota lainnya pada akhir Agustus hingga awal September.
Demonstrasi yang diwarnai kericuhan tersebut dilaporkan telah menewaskan setidaknya 10 orang, sebuah angka yang sulit diabaikan.