wmhg.org – JAKARTA. Aliran dana asing masih keluar selama sepekan terakhir jelang gelaran Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Kamis (17/10).
Melansir RTI, aliran dana asing di pasar reguler tercatat keluar Rp 1,73 triliun pada sepekan terakhir dan keluar Rp 2,9 triliun sejak awal tahun 2024.
Namun, pada perdagangan Selasa (15/10), aliran dana asing tercatat masuk Rp 289,52 miliar di pasar reguler.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan, surat berharga negara (SBN) memang saat ini sedang dilirik oleh investor asing.
Kinerja pasar saham biasanya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sementara, saat ini ada peningkatan tensi geopolitik dan penurunan suku bunga yang mungkin tidak secepat yang diharapkan.
Baca Juga: Menanti RDG BI, IHSG Diprediksi Menguat, Berikut Rekomendasi Saham Rabu (16/10)
“Kondisi ini juga ditambah dengan adanya stimulus ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah China. Dengan kondisi seperti saat ini, maka pasar obligasi akan lebih dilirik investor,” ujarnya saat ditemui Kontan, Senin (14/10).
Alhasil, dalam beberapa minggu terakhir ini investor asing terlihat keluar dari pasar saham dan mulai masuk ke pasar obligasi, terutama ke Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Handy melihat, pasar obligasi pemerintah juga masih memiliki ruang untuk bertumbuh, setidaknya hingga akhir tahun 2024. Saat ini, porsi investor asing di SRBI masih ada di kisaran 27% dari total investor di instrumen ini.
“Ketika suku bunga turun, maka imbal hasil obligasi juga akan ikut. Kalau investor sudah punya obligasi di saat imbal hasilnya turun, harganya akan naik,” paparnya.
Menyambut hal ini, PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) meluncurkan Harga Pasar Wajar (HPW) Sekuritas Bank Indonesia yang terdiri dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
Direktur Utama PHEI, M. Kadhafi Mukrom mengatakan, peluncuran HPW instrumen Sekuritas Bank Indonesia merupakan bagian dari upaya kolektif untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional dan diharapkan dapat turut menciptakan iklim investasi yang kondusif dan transparan.
Dhafi menyampaikan, perhitungan dan penilaian harga pasar wajar instrumen Sekuritas Bank Indonesia ini melengkapi penilaian dan penetapan HPW atas EBUS dan surat berharga lainnya yang PHEI lakukan.
Baca Juga: Asing Kembali Masuk Pasar, Cek Saham-Saham yang Banyak Dikoleksi, Selasa (15/10)
“Ini meliputi 1.304 seri jenis instrumen Efek bersifat utang dan Sukuk, baik yang diterbitkan oleh Pemerintah maupun korporasi dengan total jumlah outstanding mencapai Rp 7.552,23 triliun,” ujarnya saat ditemui Kontan dalam kesempatan yang sama.
Customer Literation and Education PT Kiwoom Sekuritas Indonesia, Vinko Satrio Pekerti melihat, aksi jual asing sepanjang satu pekan terahir dipengaruhi oleh sentimen negatif yang masih berlanjut sejak akhir September kemarin, yaitu stimulus bank sentral China.
“Stimulus tersebut mendorong aliran uang dari beberapa pasar saham, termasuk Indonesia, ke pasar saham China,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (15/10).
Selain itu, adanya data ekonomi AS yang positif, di mana salah satunya adalah tingkat pengangguran turun menjadi 4,1%. Hal tersebut memperkuat sentimen bahwa pasar tenaga kerja di Amerika tetap kuat, meskipun ada kekhawatiran resesi dari para analis pasar.
Belum lagi adanya risiko geopolitik, di mana konflik antara Israel dan Iran berpotensi menaikkan harga-harga komoditas minyak. Dampak negatif tersebut berpotensi untuk ekonomi kita sebagai negara net impor minyak akan lebih terasa.
“Terutama, pada emiten-emiten non energi, seperti manufaktur dan transportasi. Semakin tinggi biaya operasional akibat harga energi yang meningkat berpotensi mengganggu capaian laba bersih mereka,” ujarnya.
Oleh karena itu, Vinko berpandangan, investor cenderung beralih ke instrumen yang lebih aman, seperti obligasi pemerintah (SBN) yang menawarkan stabilitas lebih tinggi ketimbang pasar saham.
Baca Juga: Kenaikan Harga Jual Topang Kinerja Semen Indonesia (SMGR), Simak Rekomendasi Analis
Secara teori, penurunan suku bunga akan membuat surat-surat utang negara berkupon tinggi menjadi lebih menarik dan dikejar oleh banyak investor, termasuk para investor asing.
Selama imbal hasil surat-surat utang negara tersebut masih lebih menarik daripada pasar saham yang notabene berisiko lebih tinggi, dana asing bisa terus keluar dari pasar saham ke pasar obligasi.
Namun, aksi net sell asing di pasar saham ini diyakini bersifat sementara dan pasar saham akan tetap menarik ke depannya.
“Masih ada peluang kenaikan IHSG? menjelang window dressing dan kemungkinan penurunan suku bunga The Fed pada bulan-bulan mendatang, yang bisa menjadi sentimen positif untuk inflow asing kembali ke IHSG,” tuturnya.
Menurut Vinko, sektor-sektor yang cenderung sensitif dan diuntungkan dari tren penurunan suku bunga adalah sektor perbankan dan sektor properti.
“Namun, investor sebaiknya tetap memperhatikan fundamental masing-masing emiten perbankan dan properti yang sedang dipegang. Sebab, fundamental perusahaan yang lebih lemah daripada rata-rata industrinya akan lebih rentan ditinggalkan oleh asing,” paparnya.
Dalam sebulan terakhir, sejumlah emiten juga mencatatkan aliran dana asing yang besar. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) masuk tiga besar emiten yang dilego asing paling banyak pada sebulan terakhir.
BBRI dilego asing sebesar Rp 7,7 triliun dalam sebulan terakhir, BMRI dilego asing Rp 1,6 triliun, dan BREN dilego asing Rp 1,3 triliun. Namun, kinerja harga saham BREN tercatat turun paling dalam, yaitu 43,10% dalam sebulan terakhir.
BMRI Chart by TradingView
“Outflow asing di emiten ini lebih disebabkan oleh dikeluarkannya BREN dari indeks FTSE sejak 25 September 2024 lalu,” ungkapnya.
Kinerja saham BBRI turun 7,55% dan BMRI turun 4,81% dalam sebulan. Sebagai dua emiten penyokong kinerja IHSG, BBRI dan BMRI terdampak dari kebijakan Bank Sentral China yang mengakibatkan aliran keluar dana asing dari IHSG ke pasar saham China.
Namun, khusus untuk BBRI, ada faktor proyeksi pelemahan pertumbuhan laba untuk tahun 2024 yang dapat membuat para investor lebih pesimis terhadap emiten ini ketimbang emiten big banks lainnya.
“Dalam keterbukaan informasi terkait, pihak manajemen BBRI sudah menyatakan bahwa mereka lebih akan berfokus membenahi kualitas kredit mikro di sisa tahun 2024 ini,” tuturnya.
Selain ketiganya, PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) juga ikut dilego asing dalam jumlah besar dalam sebulan terakhir.
AMMN dilego asing Rp 166,3 miliar dan kinerja sahamnya turun 8,47% dalam sebulan terakhir. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kabar penjualan saham AMMN oleh empat direksinya yang kemungkinan disambut negatif oleh para investor asing.
“Selain itu, secara valuasi PER, AMMN memang tergolong masih sangat tinggi dibandingkan rata-rata emiten di industri yang sama,” ungkapnya.
Di sisi lain, salah satu emiten yang kinerja sahamnya tidak terdampak arus keluar investor asing adalah PT Bukalapak.com Tbk (BUKA).
Kinerja saham BUKA sekitar 11,02% selama sebulan terakhir, meskipun dilego asing Rp 223,1 miliar. Sentimennya adalah rumor akuisisi Temu, e-commerce asal China, terhadap BUKA pada 7 Oktober 2024 lalu.
Baca Juga: Intip Rekomendasi Teknikal Saham PGEO, INDY, AMRT untuk Rabu (16/10)
“Padahal, yang terjadi adalah PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK) yang membeli 9,54% saham BUKA pada 9 Oktober 2024,” ujarnya.
Tren aliran dana asing hingga akhir 2024 dan awal 2025 sangat dipengaruhi oleh sentimen global, terutama kebijakan moneter AS dan Eropa.
Jika inflasi global mereda dan suku bunga mulai turun, ada peluang inflow asing akan kembali ke pasar saham, termasuk ke IHSG.
Vinko memproyeksikan, IHSG akan berada di kisaran 7.700 – 7.800 hingga akhir 2024, apabila berhasil breakout di atas area 7.563-7.630. Sentimen penggerak utamanya adalah faktor makroekonomi termasuk stabilitas inflasi, dan kebijakan suku bunga.
“Lalu, ditambah juga sentimen dari faktor fundamental pertumbuhan laba emiten yang memiliki pembobotan indeks terbesar di IHSG, seperti BBRI, BBCA, BMRI, BREN, TPIA, TLKM, dan AMMN, yang masing-masing berbobot di atas 4%,” tuturnya.
Vinko pun merekomendasikan buy on weakness untuk BBRI dengan target harga terdekat di Rp 5.200 per saham dan area beli di Rp 4.750 – Rp 4.800 per saham.
Rekomendasi buy on weakness juga diberikan untuk BMRI dengan target harga terdekat di Rp 7.070 per saham dan area beli di Rp 6.700 – Rp 6.770 per saham.