wmhg.org – BELITUNG. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai perbaikan regulasi untuk percepatan replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR) perlu dilakukan untuk mendongkrak produksi sawit lokal.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono menegaskan regulasi PSR saat ini masih belum mendukung walaupun pemerintah telah meningkatkan anggaran PSR dari Rp 30 juta/ha menjadi Rp 60 juta/ha.
Sekarang ini kementerian dan lembaga yang terlibat dalam sawit itu ada lebih dari 30. Kalau tidak salah sekarang 37. Jadi kebijakan ini justru saling tumpang tindih yang terjadi. Yang paling banyak masalah di plasma (kemitraan), kata Eddy di Belitung, Rabu (28/8).
Menurut Eddy, penyederhanaan regulasi untuk industri sawit termasuk PSR menjadi penting saat ini untuk mengatasi penurunan produksi. Ia pun mengingatkan bahwa Indonesia bukan hanya menjadi eksportir terbesar untuk komoditas ini, namun juga mendominasi menjadi konsumen produk turunan kelapa sawit juga.
Jika perbaikan tak segera dilakukan, dikhawatirkan industri kelapa sawit dalam neegri tidak bisa memenuhi kebutuhan domestik. Bahkan berpotensi menjadi negara importir.
Jangan sampai nanti terulang sejarah kita pernah menjadi eksportir terbesar kedua di dunia gula. Sekarang kita menjadi importir yang sangat besar, tutur Eddy.
Data GAPKI menunjukan produktivitas minyak sawit mentah memang mengalami penurunan sejak 5 tahun terakhir.
Pada tahun 2020 pada tahun 2020 produksi CPO dan turunannya hanya mencapai 51.583 ton. Kemudian turun tipis di tahun 2021 menjadi 51.300 ton, dan turun lagi di tahun 2022 menjadi 51.248 ton. Tahun lalu produksi tercatat naik tipis menjadi 54.844 ton. Sementara hingga Mei 2024 produksi baru mencapai 22.145 ton.
Direktur Perencanaan dan Pengelolaan Dana sekaligus Plt Direktur Kemitraan BPDPKS, Kabul Wijayanto mengatakan program PSR perlu dilakukan untuk mendorong peningkatan produksi. Pasalnya, produktivitas sawit dalam neegri mengalami penurunan dalam beberapa waktu terakhir.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), produktivitas CPO nasional tercatat sebesar 3,26 metrik ton per hektar per tahun pada 2019, kemudian menurun menjadi sebesar 2,87 metrik ton per hektar per tahun pada 2023. Sedangkan produktivitas CPO dari perkebunan sawit rakyat lebih rendah lagi, yakni 2,58 metrik ton per hektar per tahun pada 2023.
Sementara, BPDPKS mencatat sejak tahun 2016 hingga Juli 2024, realisasi PSR baru mencapai 345 ribu hektar. Padahal pemerintah menargetkan PSR dapat mencapai 180 ribu hektar per tahunnya.
Program peremajaan dan program sarana dan prasarana merupakan bagian yang dikontribusikan BPDPKS untuk meningkatkan produktivitas, yang menjadi isu tantangan utama saat ini. Apabila capaian-capaian program ini tidak dilakukan dengan baik dengan capaian target yang ada, tentu akan berimbas kepada produktivitas yang diharapkan,” tutup Kabul.