Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan penerapan skema co-payment atau pembagian risiko klaim antara perusahaan asuransi dan pemegang polis akan berlaku efektif pada 1 Januari 2026.
Penerapan skema co-payment ini diatur dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaran Produk Asuransi Kesehatan. SE diterbitkan sebagai upaya memperbaiki ekosistem asuransi kesehatan.
Ini perbaikan ekosistem asuransi kesehatan agar industri tumbuh secara suistain dan efisiensi karena dilakukan perbaikan-perbaikan di asuransi kesehatan itu. Konsumen berdikan layanan lebih baik dan efisien. RS harus melakukan perbaikan karena aturan ini juga mencakup dokter, termasuk perusahaan asuransi,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono saat focus group dissussion (FGD) dengan media massa, ditulis Minggu (15/6/2025).
Adapun SE Nomor 7 Tahun 2025 itu akan berlaku efektif 1 Januari 2026. Dengan penerapan skema co-payment itu diharapkan premi dapat turun.
Jadi tidak boleh ada perusahaan asuransi pada 2025 ini yang menerapkan co payment tanpa adjustment premi. Kita sudah berdiskusi dengan asosiasi. Beberapa asuransi jiwa menyampaikan mungkin dampaknya bisa 5-10 persen. Dampak ini kita coba kaji dan pelajari bersama tetapi memang harus ada dampak. Kalau ada co-payment, harusnya klaim turun, preminya juga harus turun,” ujar Deputi Komisioner Asuransi, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Iwan Pasila.
Ia menambahkan, pihaknya mendorong masa berlaku ini dipatuhi sehingga sejak 1 Januari 2026 semua produk di ekosistem asuransi kesehatan menerapkan skema co-payment.
“Bagaimana orang yang masa berlaku masa polis berlaku 1 Januari, itu masih akan berlaku skema yang lama. Misalnya produk asuransinya berlaku 1 Juni 2025-31 Mei 2026, maka sampai 31 Mei 2026 polisnya itu tidak boleh ada co-payment. Waktu renew 1 Juni 2026 maka memang akan berlaku co-payment tetapi preminya pun harus mengikuti sesuai co-payment. (Premi-red) Bisa turun, bisa naik sedikit,” ujar Iwan.