Jakarta “Entah Anda tumbuh dan mengadopsi, atau Anda mati.” Pernyataan berbentuk peringatan tajam itu datang dari Jochen Wirtz, profesor pemasaran di Sekolah Bisnis Universitas Nasional Singapura.
Ia mengatakannya bukan tanpa alasan. Sebab saat kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dan AI generatif (genAI) berkembang pesat di negara-negara seperti Amerika Serikat dan China, bisnis kecil di Asia Tenggara kini justru berada di persimpangan jalan antara mengikuti arus teknologi atau tergilas kompetisi.
Menurut proyeksi Boston Consulting Group dalam laporan bertajuk Unlocking Southeast Asia’s AI Potential, AI dan genAI diperkirakan akan menyumbang sekitar USD 120 miliar atau sekitar Rp 1,94 kuadriliun (estimasi kurs Rp 16.300 per USD) untuk produk domestik bruto (PDB) Asia Tenggara pada tahun 2027. Laporan tersebut menyoroti potensi AI dalam mengubah cara kerja bisnis dan menciptakan sumber pendapatan baru.
Sementara itu, laporan e-Conomy SEA 2024 dari Google menunjukkan bahwa Singapura, Filipina, dan Malaysia masuk dalam 10 besar negara dengan pencarian terkait AI tertinggi di dunia yang menunjukkan besarnya minat dan rasa ingin tahu masyarakat kawasan terhadap AI di negara tersebut.
Usia muda menjadi salah satu keunggulan kompetitif di Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Bisnis Kecil CPA Australia 2024–2025, Vietnam, Malaysia, dan Filipina tercatat sebagai negara dengan proporsi tertinggi pemilik atau pemimpin bisnis berusia yang berusia di bawah 40 tahun di kawasan Asia-Pasifik. Hal ini menunjukkan semangat kewirausahaan generasi muda yang siap beradaptasi dengan perkembangan teknologi, termasuk dengan kecerdasan buatan.