Jakarta – Harga Bitcoin (BTC) kembali mengalami tekanan setelah ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China memuncak. Berdasarkan data CoinMarketCap pada Kamis, 16 Oktober 2025 harga BTC tercatat di level USD 111.430 atau sekitar Rp1,84 miliar, turun 0,57% dalam 24 jam terakhir.
Dalam sepekan, BTC bergerak liar di antara level terendah USD 107.318 dan tertinggi USD 123.535, mencerminkan volatilitas tinggi setelah “black friday” yang dipicu oleh isu perang tarif antar dua raksasa ekonomi dunia itu.
BACA JUGA:Analisis Harga Solana (SOL): Mampukah Tembus Level Resistance dan Capai USD 260?
BACA JUGA:Bitcoin Gagal Jadi Emas Digital? Peter Schiff dan Mantan Bos Binance Debat Panas di Medsos
BACA JUGA:Hong Kong Jajaki Kerja Sama Industri Kripto dengan Indonesia
BACA JUGA:Volume Derivatif Kripto Catat Rekor, Tegaskan Kepercayaan Institusional
Kapitalisasi pasar Bitcoin berada di sekitar Rp36.629 triliun, sementara volume perdagangan 24 jam terakhir tercatat turun 24% menjadi Rp 1.136 triliun. Penurunan ini terjadi setelah China menjatuhkan sanksi terhadap suku cadang buatan AS yang digunakan perusahaan pelayaran Korea Selatan, sehingga kembali memperkeruh hubungan dagang kedua negara.
Koreksi harga kripto berlanjut pada perdagangan Jumat, (17/10/2025), harga bitcoin anjlok 2,67% dalam 24 jam terakhir. Selama sepekan terakhir, harga bitcoin terperosok 11,34%. Saat ini, harga bitcoin berada di posisi USD 107.976 atau Rp 1,78 miliar (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.566).
Tekanan Global Menekan Pasar Kripto
Ketegangan AS–China mendorong total kapitalisasi pasar kripto global turun tajam dari USD 3,96 triliun menjadi USD 3,75 triliun, menghapus lebih dari USD 210 miliar dalam sehari.
Sementara altcoin utama relatif cepat pulih, harga Bitcoin masih bertahan di zona bearish. Presiden AS, Donald Trump bahkan menegaskan bahwa AS tengah kini “secara aktif terlibat dalam perang dagang dengan China” setelah sebelumnya mengancam tarif 100% pada semua impor dari Negeri Tirai Bambu tersebut.
Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur menuturkan, ketegangan geopolitik tersebut membuat investor cenderung beralih ke aset yang lebih aman. “Selama hubungan AS–China masih goyah, kripto akan kesulitan pulih karena aset berisiko seperti ini biasanya hanya menguat saat kondisi global stabil,” tutur dia seperti dikutip dari keterangan resmi, Jumat pekan ini.