wmhg.org – JAKARTA. Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 Tahun 2024 ketentuan anti penghindaran kewajiban atas akses informasi keuangan demi kepentingan perpajakan. Pengamat menyebutkan memang sudah saatnya aturan tersebut dilaksanakan.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman mengatakan memang sudah saatnya Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan berdasarkan rekening keuangan. Menurutnya rekening keuangan merupakan satu hal yang tidak bisa dibantah oleh wajib pajak.
Selama ini, data rekening keuangan sulit untuk dibantah oleh Wajib Pajak, dan sedikit sengketa antara petugas pajak dengan Wajib Pajak jika berdasarkan rekening bank, jelas Raden kepada Kontan, Senin (12/8).
Raden menjelaskan selama ini meski sudah ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan dan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2017, pimpinan Ditjen Pajak masih terlalu hati-hati manfaatkan undang-undang tersebut.
Selama ini pimpinan Ditjen Pajak masih tidak mau mengubah cara pengawasannya dan untuk mendapatkan rekening bank, tetap harus melalui prosedur yang panjang, ujarnya.
Pada akhirnya, hanya sedikit pemeriksa pajak yang mengajukan permintaan buka rekening. Permohonan buka rekening baru akan dilakukan oleh pemeriksa pajak jika dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan.
Selain itu juga lebih bnanyak yang menumpuh cara praktis dengan meminta rekening ke Wajib Pajak yang diperiksa. Namun cara ini ada kelemahannya, jika Wajib Pajak memiliki 12 rekening, dan yang dilaporkan ke kantor pajak hanya 7 rekening, maka yang 5 tidak akan diberikan kepada kantor pajak walaupun dilakukan pemeriksaan, ungkapnya.
Menurut Raden pengawasan yang efektif dan berdampak bagi penerimaan pajak yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang No 9 Tahun 2017, dimana Ditjen Pajak melakukan pengawasan aliran uang di Indonesia. Ia menjelaskan model pengawasannya mirip dengan PPATK namun pengawasan oleh Ditjen Pajak untuk kepentingan pengawasan kepatuhan perpajakan.
Ditjen Pajak harus mendapatkan transaksi rekening keuangan dari seluruh Lembaga Keuangan. Kemudian data-data (Big Data) tersebut dimasukkan ke dalam mesin Compiance Risk Management (CRM). Berdasarkan hasil pengolahan CRM, Wajib Pajak yang memiliki risiko tinggi, wajib diperiksa, jelas Raden.
Sayangnya, Raden mengatakan hingga saat ini Ditjen Pajak belum memasukkan data rekening keuangan ke dalam mesin CRM. Sehingga menurut Raden memang sudah saatnya melakukan pengawasan berdasarkan rekening keuangan.
Saya yakin, jika Ditjen Pajak benar-benar mengoptimalkan data rekening keuangan untuk pengawasan, maka tax ratio akan lebih cepat naik. Masih banyak Wajib Pajak yang belum patuh lapor pajak, ucapnya.