Baca 10 detikWamenkum sebut istilah perampasan aset salah kaprah.Aturan hukumnya belum ada, butuh hukum acara baru.RUU ini bisa molor, entah kapan selesainya.[batas-kesimpulan]
wmhg.org – Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej menyampaikan sinyal lampu kuning bagi euforia publik terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Ia menegaskan bahwa jalan untuk mengesahkan aturan tersebut masih sangat panjang dan rumit, bahkan dimulai dari istilah yang dinilai salah kaprah.
Dalam rapat Panja di Gedung DPR, Kamis (18/9/2025), Eddy Hiariej mengoreksi terminologi yang selama ini populer.
Menurutnya, dunia internasional tidak mengenal istilah perampasan aset.
Saya kira tidak ada satu pun di dunia yang menggunakan istilah perampasan aset, yang ada dalam berbagai instrumen internasional adalah asset recovery, itu tidak diterjemahkan sebagai perampasan aset, tapi pemulihan aset, kata Eddy.
Kerumitan Hukum yang Mengadang
Lebih dari sekadar istilah, Eddy membongkar kerumitan hukum yang menjadi penghalang utama.
Menurutnya, Indonesia saat ini hanya memiliki mekanisme penyitaan aset berbasis putusan pidana (conviction based).
Sementara RUU ini membutuhkan mekanisme baru yang bisa merampas aset tanpa harus menunggu vonis pidana (non-conviction based atau NCB).
Karena yang ada di dalam undang-undang kita itu adalah CB (conviction based asset forfeiture), tapi kita tidak punya NCB (non-conviction based asset forfeiture), jelasnya.
Masalahnya, membuat aturan NCB ini tidak mudah karena sifatnya yang merupakan persilangan antara hukum acara pidana dan perdata.
Jadi dia kuasi acara pidana juga acara kuasi perdata, jadi harus membuat hukum acara tersendiri yang saya kira memang perlu elaborasi, imbuh Eddy.
Bisa Molor, Entah Kapan Selesainya
Karena kerumitan inilah, Eddy menyarankan agar DPR tidak terburu-buru dan lebih dulu menyelesaikan revisi KUHAP serta kitab hukum acara perdata.
Tanpa fondasi itu, RUU Perampasan Aset akan sulit dieksekusi.