Baca 10 detikTim reformasi jangan hanya jadi alat untuk mengganti Kapolri.Reformasi sejati butuh perubahan sistem, bukan sekadar orang.Solusi utamanya adalah merevisi total Undang-Undang Kepolisian.[batas-kesimpulan]
wmhg.org – Dorongan untuk membentuk tim reformasi kepolisian dinilai bukan solusi paling efektif untuk memperbaiki institusi Polri.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menegaskan bahwa akar masalah terletak pada sistem, bukan sekadar pucuk pimpinan.
Menurutnya, reformasi sejati harus dimulai dari level undang-undang.
Bila menginginkan perbaikan pada institusi Polri, ada hal-hal yang lebih substantif dan mendasar. Dimulai dari mengubah struktur dan sistem tata kelola kepolisian dengan melakukan revisi UU Polri, ujar Bambang saat dihubungi wmhg.org, Sabtu (13/9/2025).
Ia mengkritik, pembentukan tim reformasi hanya bertujuan untuk mempercepat pergantian Kapolri.
Menurutnya, hal itu tidak akan menyentuh masalah inti dan hanya bersifat seremonial.
Kalau pembentukan Tim Reformasi Polri hanya untuk mempercepat pergantian Kapolri tanpa menyentuh problem yang lebih substansial tentang organisasi Polri, hal itu tak lebih dari angin surga, tegasnya.
Bambang menjelaskan, revisi UU Polri menjadi krusial untuk membangun organisasi yang profesional, independen, dan akuntabel.
Hal ini termasuk merombak struktur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) agar lebih independen dalam mengawasi.
Jadi kalau sekarang akan dibentuk tim reformasi kepolisian, skema bagaimana yang akan dibentuk dan apa yang menjadi tujuannya. Reformasi Polri harus dipahami sebagai sebuah proses, bukan tujuan, kata Bambang.
Sebelumnya, Bambang menyoroti potensi bahaya di balik masa jabatan yang terlalu panjang bagi calon pimpinan Polri.
Peringatan ini merespons kemunculan nama Komjen Pol Suyudi Ario Seto, yang diisukan menjadi calon kuat pengganti Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Bambang menjelaskan bahwa Suyudi baru akan pensiun pada 2031, memberinya masa dinas yang sangat panjang.
“Artinya, memiliki usia dinas yang masih panjang,” kata Bambang kepada wmhg.org, Sabtu (13/9/2025).
Menurut Bambang, hal ini justru bisa menjadi kerentanan.
“Kecenderungan kekuasaan yang panjang sangat rentan penyalah gunaan. Tidak ada jaminan bahwa pemegang kekuasaan atau kewenangan yang besar kuat menjaga integritas. Makanya kekuasaan harus dibatasi,” tuturnya.
Untuk memitigasi risiko tersebut, Bambang mengusulkan sebuah kriteria krusial bagi Kapolri berikutnya.
“Akan lebih elok next Kapolri hanya memiliki rentang usia jabatan maksimal 3 tahun sebelum pensiun,” katanya.