Baca 10 detik
FSGI mengecam pelibatan santri dalam pembangunan musala Ponpes Al Khoziny karena berpotensi melanggar UU Perlindungan Anak.
Polisi menyelidiki kasus ini dengan merujuk pada KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan UU Bangunan Gedung untuk menilai standar teknis pembangunan.
FSGI menekankan perlunya pertanggungjawaban dari pengurus pesantren, kontraktor, dan pemerintah terkait lemahnya pengawasan dan keselamatan bangunan pendidikan keagamaan.
wmhg.org – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai pelibatan santri dalam pembangunan musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai bentuk dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak. FSGI menegaskan, santri berada di pesantren untuk menimba ilmu, bukan dijadikan tenaga kerja bangunan.
“Pelibatan para santri dalam pembangunan musala Ponpes Al Khoziny dapat diduga kuat melanggar UU Perlindungan Anak karena berpotensi sebagai eksploitasi anak. Para santri belajar di Ponpes tersebut untuk menimba ilmu dan mereka bayar untuk itu semua. Mereka bukan kuli bangunan,” kata Ketua Umum FSGI Fahmi Hatib dalam keterangan resmi Minggu (12/10/2025).
FSGI menyampaikan pernyataan tersebut menyusul penyelidikan kepolisian terkait dugaan kelalaian dalam insiden ambruknya bangunan musala Ponpes Al Khoziny pada awal Oktober 2025.
Polisi telah memeriksa belasan saksi dan menggunakan Pasal 359 dan 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka-luka.
Selain itu, polisi juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yakni Pasal 46 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (2), untuk memastikan apakah pembangunan musala tersebut telah memenuhi standar teknis sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum.
Pakar teknik sipil struktur menyatakan, pembangunan musala di Ponpes Al Khoziny dilakukan tanpa perencanaan yang baik dan tidak sesuai kaidah teknis. Polisi diminta memeriksa dokumen perencanaan dan izin bangunan ponpes tersebut.
Sebelumnya, sejumlah santri mengaku dilibatkan dalam proses pengecoran bangunan musala. Salah satu orang tua santri, Ahmad Zabidi, mengatakan anaknya selamat dari tragedi karena sedang beristirahat di kamar setelah ikut kerja bakti dalam pengecoran bangunan.
FSGI menilai, jika terbukti ada kelalaian dalam kasus ini, maka sejumlah pihak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Pertama, pengurus atau pengelola pesantren dapat dimintai pertanggungjawaban karena tetap menggunakan bangunan yang sedang dalam proses pengecoran.
Kedua, kontraktor dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti ceroboh dalam proses pembangunan, dengan dasar Pasal 359 dan 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka-luka.
Ketiga, pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan pihak terkait, juga harus bertanggung jawab karena diduga terjadi kegagalan sistematis dalam pengawasan.
FSGI menyoroti lemahnya penerapan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta ketiadaan inspeksi keselamatan rutin di lingkungan pendidikan keagamaan.