wmhg.org – JAKARTA. Penjualan barang fashion dan kulit dari LVMH Moët Hennessy Louis Vuitton SE mengalami penurunan signifikan untuk pertama kalinya sejak pandemi, sebuah fenomena yang dipicu oleh anjloknya permintaan dari konsumen China.
Sebagai pemain terbesar di industri mewah global, LVMH terpukul keras oleh berkurangnya minat konsumen China terhadap produk-produk mewah, yang sebelumnya dianggap tak terpuaskan.
Penurunan Pendapatan Organik Unit Fashion dan Kulit LVMH
LVMH melaporkan bahwa pendapatan organik dari unit kunci mereka, yang mencakup merek-merek terkenal seperti Louis Vuitton dan Christian Dior, mengalami penurunan sebesar 5% pada kuartal ketiga 2024.
Para analis sebelumnya memperkirakan adanya peningkatan kecil, sehingga hasil ini mengejutkan dan menjadi penurunan kinerja triwulanan terburuk sejak kuartal kedua 2020, ketika dunia dilanda lockdown akibat pandemi. Secara keseluruhan, penjualan grup LVMH turun sebesar 3%.
Jean-Jacques Guiony, Chief Financial Officer LVMH, menyatakan dalam presentasi kuartalan bahwa kebanyakan pasar kami saat ini menghadapi tantangan ekonomi, termasuk China daratan. Ia menambahkan bahwa kepercayaan konsumen di China daratan kembali berada di titik terendah yang pernah dicapai selama pandemi.
Dampak Terhadap Pasar dan Saham
Kinerja LVMH yang mengecewakan ini juga mengguncang pasar saham. Saham perusahaan dalam bentuk American Depositary Receipts (ADR) anjlok hingga 10% setelah pengumuman tersebut.
Pesaing dari Amerika Serikat, seperti Ralph Lauren Corp. dan Estee Lauder Cos., turut mengalami penurunan di perdagangan New York. Sementara itu, ADR pemilik Gucci, Kering SA, juga merosot.
Analis dari RBC Capital Markets, Piral Dadhania, menggarisbawahi bahwa hasil tersebut menunjukkan perlambatan yang lebih nyata daripada yang diperkirakan.
Pengaruh Stimulus Ekonomi China
Di tengah kekhawatiran akan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan krisis pasar properti di China, konsumen di negara tersebut menahan pengeluaran untuk barang-barang mewah. Hal ini mendorong pemerintah China untuk meluncurkan serangkaian langkah stimulus ekonomi pada bulan lalu dengan tujuan untuk memulihkan perekonomian.
Namun, Guiony menegaskan bahwa masih sulit untuk menilai dampak potensial dari langkah-langkah tersebut terhadap permintaan konsumen, meski ia mengakui bahwa pihak otoritas China tampak serius menangani masalah ini.
Penurunan penjualan di wilayah yang mencakup China mencapai 16% pada kuartal tersebut, jauh di bawah perkiraan, dan menjadi kekecewaan besar bagi LVMH yang selama ini dianggap tangguh di tengah melemahnya permintaan di China.
Penurunan ini menjadi sorotan utama mengingat LVMH sebelumnya mampu bertahan lebih baik dibandingkan perusahaan lain dalam menghadapi tantangan ekonomi di pasar terbesar dunia tersebut.
Selain di China, penjualan di Jepang juga lebih rendah dari yang diharapkan, yang sebagian besar disebabkan oleh penguatan yen yang mengurangi daya beli konsumen China yang biasa berbelanja barang mewah di negara tersebut.
Di pasar Amerika Serikat dan Eropa, kinerja penjualan LVMH juga tidak mencapai target, menambah kekhawatiran akan meluasnya perlambatan di pasar utama lainnya.
Dampak Pandemi dan Konsumen Aspiratif
Sejak pandemi, sektor barang mewah mengalami lonjakan permintaan yang luar biasa, didorong oleh konsumen aspiratif mereka yang membeli barang mewah sebagai simbol status. Namun, tren ini mulai memudar sejak tahun lalu, dengan merek-merek yang menyasar segmen aspiratif mengalami penurunan penjualan.
Merek-merek yang sangat eksklusif, seperti Hermès International SCA, yang akan melaporkan kinerja kuartalan mereka minggu depan, terbukti lebih mampu bertahan di tengah penurunan ini.
LVMH, yang dikendalikan oleh Bernard Arnault, salah satu individu terkaya di dunia, memiliki lebih dari 75 merek mewah yang mencakup sektor fashion, perhiasan, hotel, hingga minuman keras. Namun, pada kuartal ketiga 2024 ini, seluruh unit utama grup LVMH gagal mencapai ekspektasi analis, mencerminkan perlambatan yang lebih luas di pasar barang mewah global.