wmhg.org – JAKARTA. Potensi kenaikan permintaan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) global diperkirakan bakal mengangkat kinerja emiten sawit.
Potensi kenaikan ini dipicu permintaan dari India dan China yang secara bertahap meningkatkan pembelian CPO.
Pengamat komoditas dan Founder Traderindo.com, Wahyu Tribowo Laksono mengungkapkan, impor minyak sawit India naik 12,4% pada bulan Mei dari bulan sebelumnya. Permintaan itu mencapai angka tertinggi dalam empat bulan terakhir, karena koreksi harga baru-baru ini menyebabkan pembelian lebih tinggi.
Head of Investment Nawasena Abhipraya Investama, Kiswoyo Adi Joe mengatakan, jika pembelian yang dilakukan dari India dalam jumlah yang besar, harga CPO bisa ikut naik cukup tinggi.
Alhasil, harga rerata alias average selling price (ASP) CPO para emiten juga bisa ikut terkerek. Ini akan menguntungkan semua emiten, baik yang bisnisnya berfokus di pasar global maupun domestik.
Melansir Trading Economics, harga CPO ada di level MYR 3.746 per ton. Ini sudah turun 4,39% dalam sebulan dan terkoreksi 4,37% dalam sepekan.
“Permintaan global itu setidaknya bisa menjaga harga di level sekarang atau bisa lebih tinggi lagi, di atas MYR 4.000 per ton,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (11/8).
Di semester II, kinerja emiten sawit diperkirakan akan lebih baik dari semester I. Selain karena potensi kenaikan harga CPO, tibanya musim panen raya juga akan menguatkan raihan pendapatan para emiten.
“Emiten yang untungnya paling besar nanti adalah mereka dengan umur tanaman sawit yang ada di masa prima, yaitu sekitar 12 tahun,” paparnya.
Di sisi lain, harga sejumlah saham emiten CPO tercatat bervariasi. Misalnya, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) kinerjanya terkoreksi 17,08% secara year to date (ytd). Saham PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) turun 1,49% ytd.
Sementara, saham PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) naik 29,36% ytd. PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) naik 38,74% ytd.
Kiswoyo bilang, hal itu karena kinerja AALI dan SGRO sedang landai mengingat kedua emiten itu tengah melakukan replanting.
“Penanaman kembali itu butuh waktu sekitar 7 tahun sampai kembali panen,” tuturnya.
Kiswoyo pun merekomendasikan beli untuk LSIP dengan target harga Rp 1.100 per saham, TAPG Rp 850 per saham, AALI Rp 6.500 per saham, dan DSNG Rp 850 per saham.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, peningkatan permintaan dari India otomatis memberikan katalis positif dan mengerek meningkatkan ASP dari emiten CPO.
“penjualan emiten CPO memang mayoritas lebih menitikberatkan kepada penjualan domestik. Namun, karena ini bisa menaikkan ASP, jadi dampak positif juga,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (11/8).
Di semester II, akan terjadi musim panen raya yang bisa membuat harga CPO stagnan atau turun karena pasokan berlebih. Namun, kenaikan permintaan bisa mengimbangi sentimen negatif tersebut.
“Topline para emiten tetap bisa meningkat. Apalagi, permintaan domestik juga masih tinggi, khususnya untuk konsumsi masyarakat Indonesia,” paparnya.
Untuk kinerja ekspor CPO Indonesia, kemungkinan masih akan terganjal kebijakan Uni Eropa yang membatasi impor produk sawit
“Namun, perlu dicermati bahwa perekonomian di India sedang mengalami pemulihan. Jadi ini semestinya bisa menjadi katalis positif untuk menciptakan permintaan di industri CPO. Tak hanya dari China dan India, permintaan dari Bangladesh juga mungkin bisa naik,” tuturnya.
Meskipun begitu, Nafan belum memberikan rekomendasi untuk emiten CPO.
Equity Analyst Kanaka Hita Solvera William Wibowo melihat, pergerakan saham AALI ada di level support Rp 5.250 per saham dan resistance Rp 6.250 per saham. William pun merekomendasikan buy on weakness saham AALI dengan target harga akhir tahun Rp 6.000 – Rp 6.200 per saham.
Sementara, pergerakan saham TAPG dengan support Rp 650 per saham dan resistance Rp 770 per saham. William pun merekomendasikan beli untuk AALI dengan target harga akhir tahun Rp 750 – Rp 770 per saham.