Jakarta Pemerintah menargetkan nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060 mendatang. Namun, target itu menghadapi tantangan yang tak mudah: ketergantungan pada energi fosil.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Rachmat Kaimuddin mengatakan, perjalanan ke energi bersih tidak semudah yang diperkirakan. Ada proses yang perlu dilalui.
Bikin aja listriknya green gitu ya, bikin aja transportasi green, gampang gitu. Tapi ternyata enggak semudah itu. Ini tentunya butuh kerja sama kita dan perjalanannya juga nggak bisa instan, jata Rachmat dalam Indonesia Connect by Liputan6, ditulis Minggu (10/8/2025).
Ada sejumlah tantangan yang menurutnya perlu dihadapi oleh Indonesia. Tak lain aspeknya berada pada ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil, baik dari sisi pembangkit listrik, maupun penggunaan kendaraannya.
Dia mencatat sekitar 80 persen listrik Indonesia disumbang energi fossil, mayoritas dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara. Pada saat yang sama, kegiatan pengeboran minyak bumi masih terus dilakukan demi kepentingan nasional.
Ini semuanya penting, enggak bisa dengan serta-merta, oke kita berhenti menggunakan fossil. Ada yang mau misalnya tiba-tiba listriknya mati, atau listriknya nyala pada saat matahari bersinar dan angin berhembus? Kan nggak mau kan, pasti maunya listriknya 24 jam tapi bersih, tuturnya.
Sama halnya dengan penggunaan kendaraan. Rachmat mengatakan setidaknya ada 150 juta kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM).
Sedangkan, baru ada sekitsr 200-300 ribu kendaraan listrik. Angka ini membuktikan masih jomplangnya penggunaan kendaraan dengan emisi rendah. Namun, pemerintah kembali lagi tidak bisa membatasinya dengan tiba-tiba.
Apa iya misalnya kita bilang, oke semua masyarakat sekarang enggak boleh lagi pake mobil yang pake bensin atau kita enggak jual lagi BBM fossil. Kan enggak mungkin, hari ini enggak mungkin, tegas dia.