Jakarta Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri hasil tembakau atau industri rokok kembali menyoroti peliknya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT). Bagi kalangan legislatif, tekanan fiskal yang berlebihan bukan hanya melemahkan kinerja korporasi, tetapi juga berpotensi menimbulkan gejolak sosial-ekonomi yang luas.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, menilai pemerintah bersikap kontradiktif. Di satu sisi, rokok masih menjadi tulang punggung penerimaan negara dengan kontribusi cukai mencapai Rp 230 triliun tahun ini dan ditargetkan naik menjadi Rp 241,83 triliun pada RAPBN 2026. Namun di sisi lain, kebijakan tarif, harga jual eceran (HJE), dan regulasi kesehatan yang semakin ketat justru menekan daya saing industri.
“Tiap tahun cukai makin tinggi, sementara aturan pembatasan konsumsi rokok juga semakin ketat. Ini membebani perusahaan dan berimbas pada tenaga kerja,” tegas Yahya, Kamis (11/9/2025).
Dia mengingatkan bahwa industri rokok menyerap sekitar 2 juta pekerja, baik langsung maupun tidak langsung.
Pandangan serupa disampaikan Anggota DPD asal Jawa Timur Lia Istifhama. Menurutnya, isu PHK massal di industri rokok bukan sekadar urusan korporasi, melainkan ancaman terhadap keberlangsungan hidup banyak pihak, mulai dari pekerja pabrik hingga petani tembakau.
“Kalau benar kabar PHK massal, ini kabar yang sangat tidak sedap. Isu ini tidak hanya soal industri, tapi juga problem baru dalam penyerapan tenaga kerja,” ujar Lia.