Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) melambat tajam pada kuartal I 2025. Perlambatan pertumbuhan ekonomi AS itu seiring banyak pelaku bisnis yang berlomba-lomba menimbun barang jelang kebijakan tarif besar-besaran Presiden AS Donald Trump.
Mengutip CBC News, Kamis (1/5/2025), Produk Domestik Bruto (PDB) AS menyusut 0,3%, turun dari pertumbuhan 2,4% dalam tiga bulan terakhir pada 2024. Demikian disampaikan Departeman Perdagangan pada Rabu dalam estimasi PDB awal.
Ini adalah kinerja kuartalan terburuk bagi ekonomi AS sejak awal 2022, ketika ekonomi sedang dalam pemulihan setelah terpuruk selama pandemi COVID-19.
Ekonomi AS diperkirakan menunjukkan pertumbuhan 0,8% dalam tiga bulan pertama 2025, menurut estimasi rata-rata ekonom yang disurvei oleh FactSet.
Perlambatan ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran tarif luas yang diberlakukan oleh Presiden Trump dapat menganggu ekonomi AS. Ekonom juga menyampaikan kemungkinan AS akan mengalami resesi pada 2025.
Meskipun tarif menyeluruh pemerintahan Trump diumumkan pada 2 April setelah akhir kuartal, pelaku bisnis berusaha untuk mengantisipasi dampak bea masuk dengan membeli secara besar-besaran pada awal tahun.
Laporan tersebut mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan keadaan pertumbuhan ekonomi, para ekonom memperingatkan, dengan mencatat angka-angka tersebut kemungkinan besar tidak jelas karena lonjakan impor karena bisnis berusaha menghindari tarif.
Peningkatan impor mungkin tampak menurunkan pertumbuhan ekonomi dan menunjukkan pergeseran dari konsumsi domestik, tetapi itu tidak menceritakan keseluruhan cerita, para ekonom mencatat.
Namun demikian, kekhawatiran tentang tarif menyebabkan bisnis dan konsumen mengubah perilaku mereka pada awal tahun, menandakan penerapan biaya impor yang tinggi dapat menciptakan hambatan bagi ekonomi pada akhir 2025, kata para ahli.
Peningkatan permintaan yang tidak wajar ini menyiapkan panggung untuk jurang permintaan yang lebih tajam di Q2 — fase yang jauh lebih meresahkan dari perlambatan ekonomi yang sedang berlangsung,” ujar Chief Economist EY, Gregory Daco mengatakan dalam sebuah email.