Jakarta Isu keberlanjutan dan tanggung jawab sosial jadi salah satu sorotan utama dalam industri tambang mineral di Indonesia yang kini sedang digenjot untuk mengejar target hilirisasi. Harus diakui para pelaku usaha tambang juga mulai bertransformasi dengan mengedepankan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
Perusahaan-perusahaan tambang kini tidak hanya fokus pada produksi dan profit, tetapi juga memperhatikan dampak lingkungan, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan tata kelola perusahaan yang transparan.
Hal tersebut dibahas secara mendalam dalam diskusi bersama Dindin Makinudin, Community Affairs General Manager Harita Nickel; Hendra Gunawan, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM); Meidy Katrin Lengley, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI); serta Tri Budhi Soesilo, Akademisi Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI).
Dindin Makinudin, Community Affairs General Manager Harita Nickel, menyatakan salah satu poin utama dalam kegiatan operasional Harita adalah kinerja ESG perusahaan melalui pengelolaan lingkungan hidup maupun masyarakat. Ia mengungkapkan tren saat ini yang berkembang adalah industri jasa keuangan terutama investor dan bank ingin memastikan bahwa investasi yang mereka tanamkan di perusahaan lebih aman dan memberikan kinerja yang lebih baik.
“ESG kini jadi pertimbangan dalam keputusan berinvestasi,” ungkap Dindin di sela diskusi yang digelar Energy Editor Society (E2S) dengan tema Uncovering ESG Transformation in Indonesia’s Nickel Mining Industry di Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Prinsip-prinsip ESG diterapkan Harita secara optimal agar bisa memaksimalkan manfaat dari keberadaan sumber daya alam yang bisa dirasakan masyarakat. Dindin menjelaskan perputaran ekonomi dengan praktik tambang yang sesuai dengan ESG yang dijalankan Harita sangat besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Halmahera Selatan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Halmahera Selatan terlihat meningkat dengan drastis setelah adanya aktivitas hilirisasi nikel sejak tahun 2016 yakni mencapai 54,59% berasal dari industri pengolahan.
“Pertumbuhan ekonomi stabil tumbuh. Industri pengolahan sangat dominan mendorong perekonomian lokal artinya hilirisasi sukses memantik pertumbuhan ekonomi di Halmahera Selatan,” ungkap Dindin.
Dindin menyatakan dengan jumlah karyawan yang banyak di Pulau Obi ada kebutuhan logistik yang besar. Misalnya saja beras mencapai sekitar 20 ribu sak beras per bulan. Kemudian ayam potong 22 ribu kg, ada juga ikan dan sebagainya.
“Tidak hanya peluang kerja, tetapi juga membuka peluang berusaha. Masyarakat mau mengikuti syarat dan ketentuan yang ditentukan perusahaan baik dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya. Harapannya dengan adanya peluang tersebut menjadi pemantik hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara perusahaan dengan masyarakat yang ada di sekitarnya,” jelas Dindin.