Jakarta Saat ini, kecerdasan buatan (AI) sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam aktivitas sehari-hari maupun bisnis. Karena itulah,para profesional dihadapkan pada kenyataan yang sulit karena cara menggapai kesuksesan berkarier kini berubah dengan sangat cepat. Dari copywiting hingga analisis keuangan, berbagai tugas yang dulunya membutuhkan tim manusia kini bisa diselesaikan oleh AI.
Teknologi seperti Large Language Models (LLMs), generative AI, data & predictive intelligence, computer vision, hingga speech & audio AI kini mengakselerasi alur kerja, menciptakan konten, mangotomatisasi proses, hingga memberikan wawasan untuk berbagai peran dalam pekerjaan.
Pergeseran ini menimbulkan berbagai kekhawatiran atau pertanyaan, seperti Apakah saya akan tertinggal oleh teknologi? atau Apakah pekerjaan saya masih relevan?
Survei global McKinsey tahun 2023 melaporkan bahwa hampir 40% jam kerja berpotensi terotomatisasi pada tahun 2030. Di sisi lain, laporan dari LinkedIn mencatat peningkatan yang tajam dalam jumlah profesional yang mencari peluang karier baru akibat kekhawatiran akan hilangnya pekerjaan karena disrupsi AI. Artinya, rasa takut tertinggal oleh teknologi memang bukan isapan jempol semata.
Ketakutan ini tidak hanya terjadi secara global, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Survei Ipsos Global Advisor menunjukkan bahwa 62% Masyarakat Indonesia khawatir pekerjaan mereka suatu hari akan tergantikan oleh AI.
Angka tersebut hampir dua kali lipat dari angka rata-rata global (36%). Survei dari PwC Indonesia pun menemukan bahwa 42% milenial Indonesia merasa perannya bisa tergeser oleh teknologi, dan hampir separuhnya menilai perusahaan belum memberi pelatihan atau kesempatan yang cukup untuk meningkatkan keterampilan digital.
Namun tantangan ini bukan sekadar tentang teknologi, tetapi juga soal identitas. Para profesional yang selama ini bangga dengan keterampilan teknis dan pengalaman panjang kini harus bersaing bukan hanya dengan sesama rekan kerja, tapi juga dengan algoritma. Hal ini mengarah kepada tekanan yang kian meningkat untuk membuktikan nilai diri mereka dengan cara-cara yang tidak bisa ditiru oleh AI.
Yang muncul adalah pertanyaan yang lebih menonjol, lebih kritis secara manusiawi: di era oromatisasi ini, apa yang membuat seseorang benar-benar tak tergantikan?
Jawabannya bukan terletak pada penguasaan teknologi atau AI semata, melainkan pada pengembangan keterampilan kepemimpinan yang tidak akan lekang oleh waktu, seperti ketajaman penilaian etika, kemampuan problem-solving secara kreatif, kecerdasan emosional, adaptabilitas, dan misi pribadi yang jelas.
  Â