Jakarta Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia tengah menghadapi tekanan serius yang mengancam keberlanjutan sektor ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal I-2025, industri pengolahan tembakau mengalami kontraksi sebesar 3,77% (year-on-year/yoy). Padahal, pada periode yang sama tahun 2024, sektor ini masih mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 7,63% yoy.
Penurunan tajam ini menunjukkan bahwa IHT semakin berada dalam posisi yang tertekan oleh berbagai faktor, seperti tingginya kenaikan tarif cukai tahunan, pelemahan daya beli masyarakat, dan semakin maraknya peredaran rokok ilegal.
Tekanan dan penurunan tajam ini dikhawatirkan akan diperburuk oleh berbagai kebijakan yang dinilai membebani industri, salah satunya tentang rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging).
Beberapa hal tersebut dianggap menekan ruang gerak pelaku usaha di sektor tembakau. Selain itu,sektor industri tembakau juga terus menghadapi ketidakpastian usaha yang dipicu oleh berbagai wacana aturan kenaikan tarif cukai tiap tahunnya.
Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO). Ketua Umum GAPRINDO, Benny Wachjudi menyoroti dampak nyata dari regulasi tersebut terhadap kinerja industri. Ia mencatat adanya penurunan volume penebusan cukai pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Memang volume penjualan turun. Kalau kita lihat dari data penebusan cukai, terlihat jelas bahwa volume juga menurun pada kuartal pertama, yaitu Januari hingga Maret 2025, dibandingkan periode yang sama di tahun 2024, kata Benny dikutip Rabu (28/5/2025).