Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat ekspor minyak atsiri dari Indonesia tembus USD 259,54 juta atau setara Rp 4,21 triliun (asumsi kurs Rp 16.256). Potensi nilai tambah masih terbuka seiring dengan peluang hilirisasi.
Inspektur Jenderal Kemenperin, Muhammad Rum menyampaikan ekspor terbesar disumbangkan dari minyak nilam, salah satu komoditas atsiri. Minyak nilam memegang sekitar 54 persen total ekspor atsiri asal Indonesia.
Pada tahun 2024, nilai ekspor mencapai USD 259,54 juta, dengan minyak nilam sebagai komoditas utama atau 54 persen dari total ekspor atsiri Indonesia dengan nilai perdagangan sebesar USD 141,32 juta, kata Rum, mewakili Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, di Kantor Kemenperin, Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Selain minyak nilam, komoditas atsiri lainnya yang juga mendukung capaian ekspor meliputi minyak pala, cengkeh, cendana, dan serai wangi.Â
Dia menuturkan, secara global, Indonesia menempati posisi ke-8 sebagai negara eksportir minyak atsiri dengan kontribusi 4,12 persen terhadap pasar dunia. Namun, sebagian besar produk yang diekspor masih berupa bahan baku mentah.
Oleh karena itu, penguatan hilirisasi menjadi urgensi strategis agar nilai tambah dari sektor ini dapat dinikmati di dalam negeri dan memperkuat struktur industri nasional yang berdaya saing, ucap dia.
Kapasitas Produksi
Saat ini, total kapasitas produksi minyak atsiri nasional mencapai 26.398 ton per tahun, serta menyerap lebih dari 200 ribu tenaga kerja, yang sebagian besar berasal dari pelaku UMKM dan petani kecil.Â
Lebih dari 3.000 unit penyulingan tersebar di sentra-sentra produksi seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, hingga Papua.
Hal ini mencerminkan bahwa industri atsiri tidak hanya berorientasi ekspor, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang kuat melalui pemberdayaan masyarakat di daerah, kata Rum.