Jakarta Menjelang pertengahan 2025, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) masih jadi topik hangat terutama di dunia bisnis. Diskusi soal bagaimana teknologi ini mengubah cara kerja terus bermunculan, terutama ketika bicara soal efisiensi dan biaya operasional.
Di tengah laju otomatisasi yang semakin cepat, pertanyaan ini kerap muncul, jika AI bisa bekerja lebih cepat dan lebih murah, lalu mengapa kita masih memilih bekerja dengan manusia?
Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika melihat bagaimana AI mulai diadopsi secara luas dalam berbagai fungsi bisnis, termasuk di bidang keuangan. Di Indonesia sendiri, adopsi ini bukan lagi sekadar wacana.
Studi IBM dan KORIKA tahun 2024 menunjukkan bahwa 62% perusahaan di Indonesia telah menjalankan pilot project AI, dan 23% di antaranya sudah mulai mengintegrasikannya ke dalam proses operasional harian, termasuk dalam pengelolaan keuangan, analisis risiko, hingga otomatisasi laporan.
Di sinilah letak perubahan besarnya. Integrasi AI dalam sistem keuangan bukan sekadar mengganti proses manual, tapi mengubah cara perusahaan memahami dan mengambil keputusan finansial. Kini, sistem keuangan dituntut untuk lebih adaptif terhadap tantangan global seperti pengelolaan multi-entity lintas negara, perbedaan regulasi pajak, hingga integrasi antar divisi. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem yang scalable, stabil, dan siap mendukung pertumbuhan jangka panjang.
Namun di balik efisiensi itu, muncul pertanyaan baru, jika mesin bisa mengambil alih proses berpikir analitis, bagaimana kita mendefinisikan kembali nilai dan potensi manusia dalam sistem yang semakin terotomatisasi?