Jakarta – Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan bahwa pada tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Standar ini ditentukan berdasarkan pengeluaran minimum sebesar USD 6,85 per hari atau sekitar Rp38.411 per orang per hari. Jika dihitung per bulan, itu setara dengan Rp1,15 juta per kapita.
Dengan populasi Indonesia yang kini mencapai 285,1 juta jiwa (data Susenas 2024 dari BPS), angka tersebut berarti ada lebih dari 172 juta orang yang masih hidup di bawah garis kemiskinan global.
Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, posisi Indonesia masuk dalam posisi tertinggi kedua. Di peringkat pertama adalah Laos, yang memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi, yaitu 68,9% dari total populasi 7,8 juta jiwa.
Filipina menyusul dengan 50,6% dari total populasi 115,8 juta orang atau setara 58,59 juta penduduk, lalu Vietnam dengan 18,2% dari total populasi 101 juta orang atau setara 18,38 juta penduduk, Thailand 7,1% dari total populasi 71,9 juta orang atau setara 5,1 juta orang, dan Malaysia hanya 1,3% dari total populasi 35,6 juta orang atau setara 462.800 orang.
Bahkan, dibandingkan dengan negara raksasa seperti China bahkan mencatatkan angka kemiskinan lebih rendah, yakni 11,9% dari total penduduk 1,4 miliar jiwa, atau sekitar 166,6 juta orang.
Perlu dipahami bahwa perhitungan garis kemiskinan ini menggunakan metode Purchasing Power Parity (PPP), bukan kurs biasa. PPP memperhitungkan daya beli masyarakat di masing-masing negara.
Untuk Indonesia, menurut data Bank Dunia, nilai tukar daya beli atau PPP conversion factor Indonesia pada 2017 ada di angka 5.607,5. Itu artinya, standar garis kemiskinan global untuk negara berpendapatan menengah-atas sebesar USD 6,85 per hari kalau dikonversi ke rupiah jadi sekitar Rp 38.411 per orang per hari, atau kira-kira Rp 1,15 juta sebulan.