Jakarta Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti terkait pengampunan pajak atau tax amnesty yang masuk ke dalam Prolegnas prioritas 2025, padahal sebelumnya kebijakan tersebut tidak cukup efektif meningkatkan tingkat kepatuhan pajak jangka panjang.
Mengapa DPR kembali menempatkan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak ke dalam Prolegnas prioritas 2025, padahal pengalaman lalu menunjukkan efeknya tidak selalu positif bagi kepatuhan jangka panjang?, kata Achmad dalam keterangannya, Minggu (21/9/2025).
Menurut Achmad, pengampunan pajak berpotensi memberi peluang terbesar bagi pemilik modal besar untuk “membersihkan” kepatuhan mereka dengan membayar denda atau tarif khusus, sementara pelaku usaha menengah dan kecil yang selama ini taat administrasi tidak pernah memperoleh fasilitas serupa.
Maka, ketika yang taat merasa tidak mendapat imbalan atas kepatuhan mereka, muncul ketidakadilan prosedural yang mengikis rasa keadilan fondasi penting bagi ketaatan pajak sukarela.
Analoginya sederhana: bayangkan sekolah memberi pengampunan kepada siswa yang ketahuan mencontek; cukup membayar denda kecil dan nilai diperbaiki. Siswa yang belajar jujur tentu merasa dirugikan. Lebih berbahaya, kebijakan seperti itu memberi insentif bagi perilaku menunda ketaatan karena harapan adanya amnesti di masa depan, jelasnya.
Dalam skala makro, moral hazard ini membuat kepatuhan sukarela melemah efek yang jauh lebih mahal dibandingkan suntikan penerimaan sekali pakai.