Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membantah dengan tegas terhadap pernyataan yang mengatakan badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih terjadi di sektor industri manufaktur.
Sanggahan itu disampaikan sebagai respons atas pernyataan Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani dan data dari kementerian/lembaga lain.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief menuturkan, narasi mengenai dominasi PHK di sektor industri manufaktur perlu dilihat secara lebih proporsional, didukung data akurat dan analisis serta penjelasan lebih menyeluruh.
Beberapa subsektor industri memang mengalami pengurangan tenaga kerja, itu lantaran disebabkan karena residu kebijakan relaksasi impor sebelumnya sehingga produk impor murah membanjiri pasar domestik.
Febri mengatakan, penting untuk digarisbawahi PHK itu tidak mencerminkan kondisi umum sektor jasa dan perhotelan yang juga mengalami PHK dalam skala besar, tetapi tidak menjadi sorotan seimbang.
“Hemat kami, bu Shinta (Apindo) termasuk pendukung terbitnya kebijakan relaksasi impor yang terbit pada bulan Mei 2024 sehingga mengakibatkan pasar domestik banjir produk impor murah, menekan utilisasi industri dalam negeri dan pengurangan tenaga kerja. Residu kebijakan tersebut telah dirasakan hingga saat ini seperti “badai PHK” yang dia ungkapkan pada publik,” kata Febri dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Penegasan ini juga diperkuat oleh data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, yang menunjukkan jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan mengalami penurunan karena aktivitas industry melemah karena banjirnya produk impor murah di pasar domestik.
Per Februari 2025, jumlah tenaga kerja sektor industri tercatat 19,60 juta orang, turun dibandingkan pada Agustus 2024 sebanyak 23,98 juta orang. Ini terjadi sejak pemberlakuan kebijalan relaksasi impor sampai sekarang.