wmhg.org – JAKARTA. Aturan terbaru mengenai relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dinilai akan mendorong pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang selama ini terhambat pendanaan dari luar negeri.
Untuk diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan aturan baru TKDN untum infrastruktur ketenagalistrikan. Aturan baru ini memberikan relaksasi TKDN untuk bisa memacu pengembangan PLTS yang selama ini terkendala pendanaan.
Aturan ini termuat dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri (TKDN) untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Peraturan tersebut berlaku efektif mulai tanggal 31 Juli 2024.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan berlakunya regulasi baru tersebut diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan proyek infrastruktur kelistrikan berbasis EBT, terutama persoalan pendanaan dari luar negeri.
Baca Juga: Kemenperin Resmi Terbitkan Aturan TKDN untuk Produk Panel Surya
Selama ini banyak paket-paket proyek PLTS yang memang dibawa oleh investor ditawarkan dengan murah, tapi mereka satu paket. Kalau macet ya selama ini karena memang ada aturan TKDN, jadi mandek. Karena kalau pakai TKDN kan jadi mahal. Sekarang sudah ada aturannya bahwa pendanaan luar negeri dengan itu boleh, banyak pendanaan dari luar negeri, kata Arifin dalam keterangannya, Kamis (9/8).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiana Dewi Raih mengatakan, relaksasi untuk yang sudah melakukan penandatanganan Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dengan PLN di tanda tangani sampai Desember 2024, maka dapat impor total hingga Juni 2025, namun harus berkomitmen membangun pabrik di lokal.
“Relaksasi impor itu diberikan bagi yang komitmen untuk membangun pabrik. Sehingga pada prinsipnya kami menekankan pertumbuhan industri dalam negeri,” kata Eniya kepada Kontan, Minggu (11/8).
Menurut Eniya, saat ini sudah ada industri PLTS yang sekarang mulai bergerak investasi untuk pembangunan pabriknya.
Diberitakan Kontan, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai kehadiran beleid ini berpotensi mendorong proyek-proyek PLTS terencana yang selama ini mengalami kendala akibat ketentuan TKDN. Investasi industri PLTS juga berpotensi meningkat di kemudian hari.
Ini juga memberikan sinyal kepada pelaku usaha industri PLTS bahwa ke depan Indonesia terbuka untuk investasi, kata Fabby kepada Kontan, Kamis (8/8).
Fabby menjelaskan, dengan adanya tenggat waktu yang diterapkan tersebut maka ada indikasi pemerintah berupaya mendorong pelaksanaan proyek-proyek yang selama ini tersendat.
Meski demikian, Fabby mendorong adanya keselarasan antara regulasi TKDN di Kementerian Perindustrian dan TKDN Proyek di Kementerian ESDM. Pemerintah juga perlu memastikan upaya menggenjot industri panel surya dapat bertumbuh.
Saya melihatnya kalau kita ingin mencapai tingkat TKDN yang tinggi maka memang rantai pasok itu paling tidak harus jadi, imbuh Fabby.
Fabby melanjutkan, jika industri panel surya tidak mengalami pertumbuhan maka ada potensi tahapan selanjutnya atau pelaksanaan proyek PLTS justru dapat terkendala.
Untuk itu, pemerintah didorong untuk menarik investasi rantai pasok. Kalau perlu, ada upaya percepatan proyek-proyek PLTS untuk masuk ke fase persetujuan kontrak.
Kemudian menciptakan pasar karena itu menjadi sinyal bagi industri untuk masuk ke Indonesia, pungkas Fabby.
Pada pasal 2 dan 3 beleid tessebut dinyatakan bahwa setiap pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan baik pembangkit (pembangkit listrik yang berasal dari sumber energi terbarukan dan tidak terbarukan) beserta infrastruktur pendukungnya seperti jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan gardu induk perlu diatur nilai minimum TKDN-nya.
Kewajiban tersebut berlaku terhadap setiap pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang dilaksanakan oleh lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga pemerintah lainnya, dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan Barang dan Jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri.
Kewajiban itu juga berlaku untuk badan usaha milik negara, badan hukum lainnya yang dimiliki negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta dalam pengadaan Barang dan Jasa yang pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau pekerjaannya dilakukan melalui pola kerja sama antara pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah dengan badan usaha juga dalam pelaksananya mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara.
Dalam pasal 6 dinyatakan, pelaksanaan pengadaan Barang dan/atau Jasa dalam Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan wajib menggunakan buku apresiasi Produk Dalam Negeri yang paling sedikit memuat:
- daftar Barang yang dikategorikan diwajibkan, dimaksimalkan, dan diberdayakan;
- daftar penyedia Jasa yang dikategorikan diutamakan, dimaksimalkan, dan diberdayakan dan
- daftar kemampuan produsen Barang dan/atau penyedia Jasa.
Buku apresiasi Produk Dalam Negeri ditetapkan oleh Direktur Jenderal EBTKE untuk Infrastruktur pembangkit listrik yang berasal dari sumber energi terbarukan dan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan untuk Infrastruktur Ketenagalistrikan pembangkit listrik yang berasal dari sumber energi tak terbarukan; dan jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan gardu induk.
Dalam hal buku apresiasi Produk Dalam Negeri belum tersedia, pengadaan Barang dan/atau Jasa dilaksanakan sesuai dengan daftar Produk Dalam Negeri yang diterbitkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Mengenai ketentuan besaran TKDN diatur secara khusus di dalam Bab III pasal 8,9, dan 10. Dalam pasal 8 dinyatakan, Produk Dalam Negeri untuk pembangunan Infrastuktur Ketenagalistrikan ditentukan berdasarkan besaran komponen dalam negeri pada setiap Barang dan/atau Jasa yang ditunjukkan dengan nilai TKDN (TKDN Barang, TKDN Jasa dan TKDN gabungan Barang dan Jasa) yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian.
Menteri ESDM menetapkan dan mengevaluasi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan terkait dengan batas minimum nilai TKDN gabungan Barang dan Jasa dalam lingkup Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan berdasarkan perbandingan antara keseluruhan harga komponen dalam negeri untuk Barang ditambah keseluruhan harga komponen dalam negeri untuk Jasa terhadap keseluruhan harga komponen untuk Barang dan Jasa.
Dalam rangka penilaian TKDN untuk menentukan batasan lingkup Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, Pengguna Barang dan Jasa dapat melakukan pre-assessment TKDN yang dilakukan oleh lembaga verifikasi independen pada saat tahap perencanaan Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Selanjutnya mengenai sanksi dan penghargaan diatur dalam BAB IV pasal 12, 13 dan 14. Pengguna Barang dan Jasa dikenai sanksi administratif apabila tidak memenuhi batas minimum nilai TKDN gabungan Barang dan Jasa berupa sanksi administratif, peringatan tertulis, penghentian sementara, denda administratif; dan/atau pencabutan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
Sebaliknya Pengguna Barang dan Jasa dapat diberikan penghargaan apabila memenuhi batas minimum nilai TKDN gabungan Barang dan Jasa sebagaimana ketentuan yang sudah berlaku. Penghargaan diberikan dapat berupa, piagam penghargaan, pengumuman di media massa; dan/atau penghargaan lainnya.
Pemberian penghargaan diberikan oleh Direktur Jenderal EBTKE untuk Infrastruktur Ketenagalistrikan berbasis EBT dan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan untuk Infrastruktur Ketenagalistrikan Non EBT.
Diatur dalam Permen ini juga fungsi pembinaan dan pengawas bahwa Menteri terhadap pelaksanaan penggunaan Produk Dalam Negeri pada Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Pembinaan dan pengawasan akan dilakukan Direktur Jenderal EBTKE dan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan.
Direktur Jenderal EBTKE melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penggunaan Produk Dalam Negeri pada Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan berbasis EBT dan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penggunaan Produk Dalam Negeri pada Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan Non EBT.
Dalam ketentuan lain juga diatur ketentuan relaksasi yang diberikan diberikan hingga tanggal 30 Juni 2025 dengan ketentuan, proyek pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dimana perjanjian jual beli tenaga listriknya ditandatangani paling lambat tanggal 31 Desember 2024 dan direncanakan beroperasi secara komersial paling lambat tanggal 30 Juni 2026.