Jakarta – Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan kebijakan tarif baru dari Presiden AS, Donald Trump, pergerakan harga Bitcoin menunjukkan ketahanan yang cukup menarik untuk diperhatikan.
Tarif-tarif baru yang diumumkan oleh Trump yang menargetkan sejumlah negara mitra dagang utama AS telah menyebabkan volatilitas besar di pasar keuangan global.
Indeks S&P 500 bahkan tercatat turun hingga 12% hanya dalam rentang waktu 2–8 April. Namun, penurunan Bitcoin jauh lebih ringan dibandingkan saham, yang mendorong para analis untuk mempertimbangkan ulang hubungan antara Bitcoin dan pasar tradisional.
Menurut Zach Pandl, Kepala Penelitian di Grayscale, pergerakan ini bisa jadi sinyal Bitcoin mulai menunjukkan independensi terhadap pasar finansial konvensional.
Bitcoin biasanya tiga kali lebih volatil dibanding S&P 500. Jadi kalau saham turun 12%, seharusnya Bitcoin anjlok 36%. Tapi kenyataannya tidak demikian,” kata Pandl dikutip dari Yahoo Finance, Sabtu (12/4/2025).
Ia menyimpulkan tarif merupakan guncangan langsung untuk ekuitas, bukan kripto, dan mencatat bahwa volatilitas pasar tradisional saat ini bahkan sudah sebanding dengan pasar opsi Bitcoin, mengacu pada indeks ketakutan pasar VIX.
Bitcoin Diuntungkan oleh Inflasi dan Ketidakpastian Global
Grayscale juga menyebut kondisi ekonomi makro saat ini yakni inflasi tinggi, pertumbuhan PDB yang melemah, dan ketidakpastian geopolitik berpotensi menguntungkan Bitcoin.
Mereka membandingkan situasi sekarang dengan era stagflasi pada 1970-an, di mana saham dan obligasi cenderung tertekan sementara harga emas melonjak tajam.
Bitcoin sering dianggap sebagai \’emas digital’, dan mungkin sekarang saatnya dia memainkan peran serupa, tulis laporan tersebut.
Meski begitu, Grayscale juga mengakui bahwa Bitcoin belum memiliki data historis selama beberapa dekade seperti emas. Namun, daya tariknya tetap kuat di mata investor yang mencari alternatif perlindungan nilai.