wmhg.org – JAKARTA. Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, mengaku khawatir dampak penerapan tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap sektor usaha kelapa sawit
Ia menilai bahwa kini Trump menciptakan risiko baru yang cukup kompleks dalam perdagangan internasional secara keseluruhan.
Selama ini, volume impor sawit Amerika Serikat (AS) dari Indonesia masih kecil. Berdasarkan data dari PASPI, volume impor sawit AS dari Indonesia sekitar 1,2 juga sampai1,5 juta ton per tahun, atau kurang dari 5% dari total ekspor sawit Indonesia ke seluruh dunia.
Pengguna utama minyak sawit di AS adalah industri pangan (multinasional) dan industri oleokimia.
Meskipun begitu, jika kebijakan tarif resiprokal Indonesia 32% diberlakukan pada impor AS dari Indonesia termasuk sawit, maka harga minyak sawit yang dibayar importir dan masyarakat AS akan naik.
“Sehingga konsumsi minyak sawit masyarakat AS akan turun, dan akibatnya volume impor sawit dari Indonesia juga akan berkurang,” terang Tungkot kepada Kontan, Senin (7/4).
Apakah hal ini akan berpengaruh pada industri sawit di Indonesia? Tungkot menjelaskan bahwa dari segi volume, ekspor sawit Indonesia ke AS tersebut relatif kecil sehingga kalau pun akan menurun, tidak terlalu besar pengaruhnya karena dapat dialihkan ke negara/kawasan tujuan ekspor sawit lainya seperti Cina, India, Afrika dan lainnya.
Tetapi, Tungkot menegaskan, tentu Trump effect tak hanya sampai di situ saja. Akan ada dampak lanjutan tergantung pada reaksi (retalisasi) negara lain terhadap Trump Effect tersebut.
“Jika retaliasi dari China, India, EU juga menaikkan tarif bea masuk kedelai dari AS, ini justru berpotensi menciptakan peluang bagi industri sawit mengisi/menambah pangsanya di China, India, EU,” lanjutnya.
Jika dilihat, apabila kurs rupiah mengalami pelemahan atas dolar AS, justru ini akan menguntungkan bagi industri sawit nasional untuk mengekspor sawit ke seluruh dunia.
Selain itu, Tungkot juga membeberkan proyeksi produksi sawit nasional tahun 2025 ini. Ia memproyeksikan akan terjadi penurunan produktivitas, sebab dalam 10 tahun terakhir ini tren dan dampaknya dirasa masih berlanjut.
“Penyebabnya antara lain pengurangan pemupukan tahun tahun sebelumnya, iklim dalam 2 tahun ini yang kurang bersahabat, realisasi replanting yang rendah, masalah ganoderma, dan masalah polinasi/penyerbukan yang tidak sempurna, dan penanganan kebun bermasalah,” pungkasnya.
Selanjutnya: Asosiasi Konveksi Imbau Pemerintah Segera Rampungkan Revisi Permendag 8/2024
Menarik Dibaca: Dominan Cerah, Ini Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (8/4)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News