wmhg.org – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang digodok di DPR kini menuai kritik tajam. Draf ini dinilai sama sekali tidak memiliki perspektif disabilitas, sebuah cacat fundamental yang bisa membuat kelompok rentan ini menjadi korban ketidakadilan.
Direktur Centra Initiative, Muhammad Hafiz, bahkan memperingatkan bahwa tragedi eksekusi mati terhadap penyandang disabilitas mental seperti Rodrigo Gularte bisa terulang lagi jika RUU ini disahkan tanpa perubahan.
Menurut penelusuran Centra Initiative, dari ratusan pasal dalam draf RUU KUHAP, hanya ada satu bagian yang secara spesifik membahas soal disabilitas, yakni Pasal 137.
Hafiz menilai, ini adalah bukti nyata bahwa hak-hak kelompok disabilitas sama sekali tidak dianggap penting oleh para penyusun undang-undang.
Seakan-akan semua sudah masuk di situ, jaditidak ada perspektif disabilitas sama sekalidi dalam KUHAP kita, kata Hafiz dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Jumat (15/8/2025).
Pengabaian ini, menurutnya, akan berimplikasi sangat serius terhadap pemenuhan hak atas keadilan bagi penyandang disabilitas saat mereka berhadapan dengan hukum.
Tragedi Rodrigo Gularte Bisa Terulang Lagi
Untuk menggambarkan betapa berbahayanya RUU ini, Hafiz mengingatkan kembali tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 2015 lalu. Saat itu, Rodrigo Gularte, seorang warga negara Brasil, dieksekusi mati di Indonesia karena kasus narkoba.
Padahal, Gularte telah teridentifikasi secara medis sebagaipenyandang disabilitas mental yang mengidap skizofrenia.
Itu tidak juga dijadikan pelajaran, sesal Hafiz.
Tidak ada proses di mana kemudian penyandang disabilitas diberikan hak-haknya dan kemudian dipastikan hak-haknya ini bisa terpenuhi dengan adanya KUHAP yang baru.
Tanpa perlindungan hukum yang spesifik dan memadai, ia khawatir kasus-kasus serupa di mana kondisi mental atau fisik seseorang diabaikan dalam proses peradilan akan kembali terjadi.
RUU KUHAP yang buta terhadap perspektif disabilitas ini akan menciptakan sistem hukum yang tidak adil. Tanpa adanya aturan yang mewajibkan penyediaan pendamping khusus, penerjemah bahasa isyarat yang kompeten, atau asesmen psikologis yang layak, penyandang disabilitas tidak akan pernah bisa mendapatkan proses peradilan yang setara.
Mereka akan menjadi kelompok yang paling rentan dikriminalisasi dan paling sulit untuk membela diri di hadapan hukum.