Baca 10 detik
ICW sebut MBG sangat rawan konflik kepentingan pejabat.
Sebanyak 44% anggaran pendidikan 2026 dialihkan untuk program makan bergizi.
Program dinilai lebih menguntungkan korporasi besar daripada petani lokal.
wmhg.org – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap potensi skandal besar di balik program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai sarat dengan konflik kepentingan, menyedot anggaran sektor fundamental, dan lebih menguntungkan korporasi ketimbang rakyat kecil.
Dalam konferensi pers bertajuk Hak Atas Pangan Bukan Sumber Cuan!, Perwakilan ICW, Nisa Rizkiah, menyebut program MBG sebagai pintu awal menuju korupsi.
Ia menjelaskan bahwa penelusuran awal ICW menemukan, potensi konflik kepentingan yang serius.
Banyak individu yang terlibat dalam Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) terafiliasi dengan lingkaran kekuasaan, termasuk orang-orang yang dekat dengan Anggota DPR.
ICW belum punya datanya, masih melakukan penelusuran, tapi sebetulnya kita lihat di banyak pemerintahan itu udah jelas, (program ini) sangat rawan dengan konflik kepentingan, itu pintu awal menuju korupsi, jelas Nisa, Rabu (15/10/2025).
Kecurigaan ini diperkuat dengan temuan di lapangan, di mana banyak SPPG tidak menerima pembayaran tepat waktu, bahkan ada yang sampai gulung tikar.
Uangnya ke mana? Itu pertanyaannya, tegasnya.
Kritik paling tajam diarahkan pada sumber pendanaan program. Nisa mengungkap bahwa MBG akan membajak porsi yang sangat besar dari anggaran pendidikan.
Tahun depan itu MBG akan menyedot 44 persen dari RAPBN pendidikan 2026 yang angkanya senilai hampir Rp300 triliun. Ini udah keliru banget. Memangnya MBG adalah bagian dari isu pendidikan? kritiknya.
Ia menambahkan, alokasi ini semakin tidak relevan karena penerima manfaatnya kini meluas hingga ke ibu hamil dan menyusui, bukan hanya siswa sekolah.
ICW juga menyoroti tata kelola MBG yang sangat tertutup dan minim akuntabilitas.
Minimnya transparansi dan akuntabilitas, tata kelola MBG juga sangat tertutup. MoU antara BGN, dan sekolah atau orang tua ini tidak memuat pertanggungjawaban jelas dan bahkan larang publikasi data,” ungkap Nisa.
Pada praktiknya, program ini dinilai lebih melayani kepentingan korporasi besar daripada memberdayakan petani lokal dalam rantai pasoknya.
Pengadaan MBG, makanan yang digunakan dalam MBG, apakah itu diambil dari petani lokal? Apakah melibatkan petani lokal? Saya rasa nggak, karena yang memberikan, yang memasukkan rantai pasoknya itu kan dari korporasi,” ujar Nisa.

Atas dasar temuan-temuan ini, ICW menyerukan agar program MBG dihentikan dan pemerintah didesak untuk mencari solusi yang lebih fundamental.