wmhg.org – Panggung politik nasional mulai menata babak baru seiring mendekatnya akhir era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Namun, alih-alih sebuah transisi mulus, yang terlihat justru kepingan-kepingan strategi yang berantakan.
Pengamat politik kawakan, Ray Rangkuti, dalam analisisnya di Podcast Forum Keadilan TV, melontarkan pandangan tajam: ‘grand design’ politik keluarga Jokowi kini telah ambyar atau hancur berkeping-keping.
Menurutnya, kesalahan kalkulasi terbesar Jokowi adalah menganggap semua variabel politik bisa tetap dalam genggamannya setelah tak lagi berkuasa.
Skenario yang dibayangkan kini berhadapan dengan realitas pahit, mulai dari relawan yang berbelok arah, partai politik yang menjadi sekadar pelabuhan sementara, hingga sinyal Prabowo Subianto yang akan menempuh jalannya sendiri.
Pelabuhan Sementara Bernama PSI: Perahu Politik yang Goyah?

Upaya Jokowi untuk tetap relevan dalam percaturan politik harian dinilai tak terhindarkan. Kepentingan anak dan menantunya yang telah terjun ke gelanggang kekuasaan menjadi pendorong utama.
Jokowi diperkirakan akan tetap terlibat dalam politik harian pasca tidak menjabat presiden karena adanya kepentingan keluarga (anak dan menantu) dalam politik, jelas Ray Rangkuti.
Di tengah situasi ini, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kini dipimpin putra bungsunya, Kaesang Pangarep, muncul sebagai episentrum perhatian. Namun, Ray melihatnya bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebuah solusi pragmatis.
Jokowi terlihat sedang mencari partai yang tepat, yang bisa memberinya posisi strategis. PSI menjadi fokus sementara karena belum ada partai besar yang mau mengakomodasi dengan mekanisme instan, katanya.
Kondisi ini diperparah oleh sinyal ambigu dari Jokowi sendiri. Pernyataan Jokowi akan all out membantu PSI namun PSI harus mencari pendanaan sendiri dianggap membingungkan, imbuh Ray.
Hal ini seolah menempatkan PSI dalam posisi dilematis: menjadi kendaraan politik keluarga istana, namun harus berjuang dengan sumber daya yang terbatas. Keraguan pun mencuat tajam.
Meragukan kemampuan PSI untuk lolos ambang batas parlemen, mengingat jumlah anggota yang terdaftar (berdasarkan klaim pemilih saat pemilihan ketua umum) relatif kecil dibandingkan target yang dibutuhkan, ujarnya.
Kalkulasi Untung-Rugi dan Pamor yang Memudar

Salah satu analisis paling menusuk dari Ray Rangkuti adalah tentang model relasi politik yang dibangun Jokowi. Menurutnya, Jokowi tidak membangun persaudaraan politik yang kokoh, melainkan pertemanan yang berbasis untung-rugi. Akibatnya, ketika tuas kekuasaan tak lagi di tangan, para teman ini akan mulai berhitung ulang.
Fenomena ini sudah terlihat dari basis relawan. Relawan Jokowi banyak yang sudah beralih dukungan ke Prabowo, dan bahkan ada yang meminta Jokowi tidak terlibat politik praktis lagi, ungkapnya.