Baca 10 detik
Penemuan kerangka yang diduga Alvaro (6) mengakhiri pencarian delapan bulan dan memicu kesedihan mendalam ibunya, Arum.
Data Kemen PPPA 2025 menunjukkan lebih dari 60 persen kasus kekerasan anak terjadi di lingkungan rumah tangga.
Psikolog Seto Mulyadi menyebut konflik orang dewasa seringkali membuat anak menjadi sasaran pelampiasan emosi yang tidak berdaya.
wmhg.org – Harapan Arum untuk memeluk kembali putranya, Alvaro Kiano Nugroho (6), dalam keadaan selamat, musnah seketika.
Senin (24/11) malam, suasana rumah duka di kawasan Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, berubah menjadi lautan air mata saat sang ibu tiba.
Delapan bulan lamanya Arum bertahan dalam ketidakpastian. Namun, takdir berkata lain. Malam itu bukan pertemuan yang ia impikan, melainkan kenyataan pahit yang harus ia telan.
Di hadapan awak media, pertahanan Arum runtuh. Suaranya tercekat, nyaris tak terdengar saat mencoba merespons pertanyaan wartawan di tengah duka yang mendalam.
“Enggak (menyangka) sama sekali (akhirnya begini). Belum bisa banyak jawab,” ujarnya.
Penemuan kerangka manusia yang diduga kuat sebagai jasad Alvaro tak hanya mengakhiri pencarian panjang ini, tetapi juga menguak kembali luka lama akibat keretakan rumah tangga.
Tragedi ini menjadi pengingat keras bagaimana konflik orang dewasa kerap menempatkan anak-anak sebagai korban yang paling tidak berdaya.

Anak-anak itu menjadi korban yang tak punya pilihan, tak punya , dan tak punya ruang untuk melindungi dirinya sendiri.
Ancaman yang Mengintai di Dalam Rumah
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tahun 2025 memperlihatkan fakta yang mencemaskan: 58,75 persen kasus kekerasan terjadi di lingkungan rumah tangga.
Sementara itu, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) Kemen PPPA menunjukkan bahwa sejak Januari hingga Oktober 2025 terdapat 25.180 kasus kekerasan dengan 26.861 korban. Dari jumlah itu, 14.795 kasus terjadi di rumah, dengan 15.657 korban, dan lebih dari 60 persen di antaranya adalah anak-anak.
Angka-angka ini menegaskan satu hal: bagi banyak anak Indonesia, rumah justru menjadi ruang paling rentan. Kekerasan tidak selalu datang dari orang asing; seringkali dari figur yang seharusnya memberikan perlindungan—orang tua, pasangan baru, atau anggota keluarga dekat.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Desy Andriani, menyoroti fenomena berulang di balik banyak kasus kekerasan terhadap anak, termasuk kasus Alvaro: lemahnya kehati-hatian dalam memilih pasangan baru setelah berpisah.
Kita juga ini melihat suatu fenomena Pasangannya keliru, salah. Keliru dalam memiliki pasangan, apalagi pasangan yang berlanjut, pasangan yang sambung istilahnya, dampaknya kepada anak, kata Desy.
Ia menegaskan bahwa keputusan untuk menikah lagi harus menempatkan keamanan dan tumbuh kembang anak sebagai pertimbangan utama.
/2025/09/15/1726746983.jpg)
/2025/07/24/1981604098.jpg)
/2025/06/17/1014996786.jpg)
/2016/06/14/1888515537.jpg)

/2025/10/15/1678182362.jpg)
/2025/10/15/933923880.jpg)



