Jakarta – Bank Indonesia (BI) menegaskan Payment ID, sistem identifikasi keuangan digital berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dikembangkan tidak akan masuk ke ranah pribadi individu untuk mengecek setiap transaksi keuangan.
Jadi pemahaman terhadap hal yang berkembang saat ini sudah terlalu jauh. Bahwa isu Bank Indonesia memata-matai, ingin mengetahui ruang private individu masyarakat tidak mungkin, ujar Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Dicky Kartikoyono, kepada wartawan, Selasa (12/8/2024).
Ia menuturkan, menerapkan Payment ID juga membutuhkan waktu untuk membangun infrastruktur selain Peraturan Bank Indonesia (BI), aturan turunan dan petunjuk teknis (juknis). Data tersebut pun dimiliki oleh industri. Ada di industri yang punya datanya, bukan Bank Indonesia. Ada di industri, sampai sebutnya merchant. Yang punya data mereka, bangun data butuh tahunan,” kata dia.
Melalui Payment ID tersebut ingin mengetahui sumber pertumbuhan ekonomi tetapi tidak masuk ke ranah individu. “Kita ingin tahu pertumbuhan industri sepatu, pertumbuhan perhotelan, restoran dan kafe. Kita ingin tahu tetapi tidak pernah melihat data individu,” ujar dia.
Dicky menuturkan, ekonomi Indonesia membutuhkan dukungan data, salah satunya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Saat ini UMKM juga tidak mendapatkan akses perbankan karena tidak ada peringkat kreditnya.
Perekonomian kita itu membutuhkan dukungan dari data. UMKM kita sekarang banyak yang tak bisa akses ke perbankan karena tidak tahu siapa mereka. Tidak ada credit rating. Kalau mungkin ke depan harus membuka potensi, harus mengenali. Perbankan kita suruh akses data tersebut terutama UMKM,” kata dia.
Seiring hal itu, Dicky menegaskan, perlindungan konsumen menjadi tujuan dan juga tetap memperhatikan keamanan transaksi, serta meningkatkan layanan. Dengan begitu diharapkan UMKM berpotensi mendapatkan akses pembiayaan.