Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan kekhawatirannya atas meningkatnya ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat pada awal April 2025.
Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut telah menimbulkan gejolak dalam pasar keuangan global, termasuk mendorong aliran modal keluar dari negara-negara berkembang dan memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah.
Salah satu dampak langsung dari kebijakan tersebut adalah terjadinya pergeseran aliran modal global dari Amerika Serikat ke negara dan aset yang dianggap lebih aman (safe haven). Para investor global mulai melirik instrumen keuangan di Eropa dan Jepang, serta komoditas emas, sebagai tempat yang lebih stabil untuk menempatkan dana mereka.
Aliran modal dunia bergeser dari AS ke negara dan aset yang dianggap aman safe heaven asset and safe heaven countries, terutama aset keuangan di Eropa dan Jepang, serta komoditi emas, ujar Perry dalam konferensi prs Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Rabu (23/4/2025).
Sementara itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia masih menghadapi tekanan besar akibat berlanjutnya arus keluar modal. Situasi ini tidak hanya menekan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang, tetapi juga menciptakan risiko bagi stabilitas ekonomi mereka secara keseluruhan.
BI mencatat bahwa tekanan eksternal ini merupakan salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia saat ini, terlebih dalam konteks ekonomi global yang semakin tidak pasti.
Menghadapi situasi ini, Bank Indonesia merespons dengan merumuskan bauran kebijakan yang komprehensif. Perry menegaskan pentingnya sinergi antara kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran, serta kebijakan pendalaman pasar keuangan, pemberdayaan UMKM, penguatan ekonomi keuangan syariah, dan kerjasama internasional.
Memburuknya kondisi global tersebut memerlukan penguatan respon dan koordinasi kebijakan untuk menjaga ketahanan eksternal, mengendalikan stabilitas, dan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, ujarnya.