Jakarta – Bank Indonesia (BI) menyebut penurunan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) belum bisa diikuti oleh perbankan lewat pemangkasan bunga kredit, lantaran membutuhkan waktu lebih panjang.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung menyampaikan, penurunan BI-Rate pada Januari 2025 memang sudah diikuti oleh suku bunga pasar uang (IndONIA).
Namun, ia menambahkan, transmisi penurunan BI-Rate dana pihak ketiga (DPK) semisal suku bunga dana dan suku bunga kredit memang perlu waktu antara satu sampai dua triwulan.
Jadi memang belum kelihatan, karena penurunannya baru bulan lalu. Jadi belum kelihatan di suku bunga dana dan suku bunga kredit, ujar Juda dalam sesi konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Februari 2025, Rabu (19/2/2025).
Nanti kita tunggu, mudah-mudahan segera menyusul, dia menambahkan.Â
Adapun secara data, BI mencatat berdasarkan hasil survei Perbankan mengindikasikan penyaluran kredit baru pada triwulan atau kuartal IV 2024 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Hal ini tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) penyaluran kredit baru pada triwulan IV 2024 sebesar 97,9 persen, lebih tinggi dibandingkan SBT 80,6%, pada triwulan sebelumnya.
Berdasarkan jenis penggunaan, peningkatan pertumbuhan kredit baru terindikasi bersumber dari kredit modal kerja (SBT 91,7 persen) dan kredit investasi (SBT 88,5 persen), kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso, dalam hasil survei Perbankan Triwulan IV 2024 pada Januari 2025.Â
Sementara itu, kredit konsumsi (SBT 62,9 persen) terindikasi lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan kredit konsumsi disebabkan oleh penyaluran kredit KPR (SBT 53,9 persen) dan kredit kendaraan bermotor (SBT 24,2 persen) yang lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya masing-masing sebesar SBT 75,9 persen dan SBT 25,9 persen.
Secara sektoral, pertumbuhan kredit baru tertinggi terjadi pada sektor Listrik, Gas dan Air (SBT 80,6 persen), diikuti sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (SBT 80,2 persen), serta sektor Industri Pengolahan (SBT 79,3 persen).