Jakarta – Harga emas telah mengalami kenaikan yang monumental selama beberapa minggu terakhir. Kenaikan harga emas didorong permintaan baru di tengah meningkatnya ketegangan ekonomi dan geopolitik.
Mengutip Newsweek, ditulis Jumat (2/5/2025), para ahli menilai lonjakan harga emas disebabkan oleh pembelian dari pasar Asia terutama China. Selain itu, penggemar emas baik di sektor publik dan swasta juga semakin mengandalkan status safe haven untuk jangka panjang mengingat sentimen perdagangan global.
BACA JUGA:Harga Emas Antam Hari Ini 30 April 2025, Lebih Murah dari Kemarin
BACA JUGA:Rahasia di Balik Selisih Harga Emas: Ukuran Gram dan Pengaruhnya
BACA JUGA:Harga Emas Hari Ini 30 April 2025 Anjlok
BACA JUGA:Top 3: Waktu Terbaik Beli Emas Bikin Penasaran
Baca Juga
-
Cek Harga Emas di Pegadaian saat Hari Buruh 1 Mei 2025, UBS Lebih Murah Rp 18 Ribu
-
Harga Emas Hari Ini Merosot Usai Ekonomi AS Lesu
-
Harga Emas di Pegadaian Hari Ini 30 April 2025: Antam, Galeri24 dan UBS Makin Mahal
Awal pekan lalu, emas menembus USD 3.500 per troy ounce untuk pertama kali dalam sejarah. Namun, sejak itu turun menjadi lebih dari USD 3.330, harga emas masih sekitar 40 persen lebih tinggi dari waktu yang sama tahun lalu. Harga emas itu juga jauh di atas apa yang sebelumnya diharapkan beberapa analis akan tercapai pada akhir 2025.
Direktur Bullion Vault, Adrian Ash menuturkan, kenaikan harga emas didorong perdagangan sektor swasta China. Ada lonjakan besar dalam volume perdagangan yang diamati di Shanghai Gold Exchange dan Shanghai Futures Exchange.
Senior Market Strategist World Gold Council, Joseph Cavatoni menuturkan, investor di seluruh dunia berharap untuk memitigasi risiko dalam menghadapi volatilitas yang berkelanjutan.
Kepada Newsweek, ia menuturkan, sebagian besar lonjakan harga emas baru-baru ini didorong oleh pembelian dari China.
Mengapa China Membeli Begitu Banyak Emas?
Cavatoni mencatat China baik investor swasta maupun lembaga negara, telah secara aktif membeli emas selama 15 tahun terakhir, tetapi mengatakan faktor-faktor terkait perdagangan dan konflik yang mendorong tren ini telah meningkat secara signifikan sejak dimulainya masa jabatan kedua Presiden AS Donald Trump.