Jakarta Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, mengatakan peningkatan penggunaan paylater harus dilihat bersamaan dengan maraknya fenomena lain seperti pinjaman online ilegal dan perjudian daring, yang menunjukkan adanya celah dalam akses keuangan formal.
Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa sebagian besar pengguna paylater mungkin berasal dari kelompok yang menghadapi keterbatasan akses pinjaman formal dan memiliki kondisi keuangan yang rentan.
Maka dari itu, meskipun paylater bisa menjadi sinyal positif dari sisi inovasi keuangan dan inklusi, penggunaannya yang meningkat juga bisa menjadi sinyal peringatan akan meningkatnya risiko kredit.
Apalagi jika tren ini didominasi oleh kelompok masyarakat dengan daya beli yang melemah, maka bukan tidak mungkin risiko gagal bayar dari layanan ini akan meningkat ke depannya.
“Kita perlu mencermati juga bahwa kondisinya kalau tadi digunakan oleh konsumen masyarakat kelas menengah yang dia baru kena PHK yang memang pendapatannya langsung jeblok dan tidak ada pendapatan sama sekali, sehingga kita perlu worry karena kemungkinan pun juga berarti ada kecenderungan nanti resiko kredit dari transaksi pay later tersebut pun juga akan bisa meningkat lagi,” kata Josua saat ditemui di kantor Permata Bank, Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Masalah Daya Beli
Baginya penggunaan layanan paylater di Indonesia mencerminkan adanya inovasi dalam produk keuangan. Ini kemudian memberikan alternatif pembiayaan bagi masyarakat, terutama di luar jalur kredit konvensional perbankan.
Meski demikian, di sisi lain, lonjakan ini juga mengindikasikan potensi persoalan yang lebih dalam terkait daya beli dan kestabilan finansial masyarakat, khususnya kelas menengah.
“Saya pikir memang kalau kita bicara inovasi produk keuangan paylater ini kan juga menjadi salah satu inovasi produk keuangan lainnya selain kredit ataupun kredit konsumsi lainnya dan saya pikir paylater ini kan memberikan kemudahan,” ujarnya.