Jakarta Kebijakan yang dinilai menekan industri hasil tembakau (IHT) memicu kekhawatiran meluasnya pemutusan hubungan kerja (PHK). Serikat pekerja mendesak agar pemerintah mempertimbangkan nasib pekerja di tengah kondisi ekonomi yang kian tidak stabil akibat kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Jika terjadi PHK, pengangguran akan meningkat, kemiskinan naik, dan daya beli masyarakat menurun, yang pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ancaman ini semakin nyata dengan diberlakukannya aturan yang membatasi kandungan gula, garam, lemak (GGL) serta larangan zonasi penjualan dan Iklan rokok.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, menegaskan bahwa aturan tersebut akan memukul dunia usaha dan ketenagakerjaan. Menurutnya, pemerintah seharusnya mempertimbangkan dampak dari sisi ketenagakerjaan, tidak hanya fokus pada kesehatan.
Bila industri rokok diatur dengan aturan yang ketat, produksi rokok akan menurun dan berujung pada PHK, ujarnya dikutip Sabtu (10/5/2025).
Ketidaksepakatan antara sisi kesehatan dan ketenagakerjaan hingga saat ini belum selesai. Said Iqbal menyatakan desakan aturan untuk membatasi peredaran rokok tanpa mempertimbangkan dampak luas terhadap pekerja di industri hasil tembakau (IHT). “Harus ada solusi win-win, tidak bisa ego sektoral kesehatan mengabaikan ketenagakerjaan, begitu sebaliknya. Duduk bersama dan petakan,” tegasnya.
Said Iqbal menekankan bahwa penyusunan aturan ini tidak boleh hanya menggunakan sudut pandang kesehatan. Melainkan perlu memastikan setiap aturan mempertimbangkan dampak terhadap banyak pihak, termasuk nasib para pekerja.
Selain itu, dia menilai pemerintah perlu melibatkan pihak-pihak dalam industri, termasuk produsen rokok, dalam penyusunan kebijakan. Ini untuk mencari solusi tepat dalam mengimplementasikan aturan sehingga PHK dapat dihindari.