Jakarta – Tarif resiprokal atau tarif timbal balik antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sebesar 19% akan mulai berlaku 7 Agustus 2025. Kebijakan tarif itu juga telah diumumkan AS kepada 92 negara lainnya.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto seperti dikutip dari Antara, Jumat (1/8/2025).
Sudah diumumkan (tarif) 92 negara, dan Indonesia seperti kita ketahui sudah selesai (sepakat) dan berlaku tanggal 7 (Agustus),” ujar dia.
Airlangga menuturkan, tarif 19% yang diperoleh Indonesia merupakan salah satu terendah di kawasan Asia Tenggara kecuali Singapura yang mendapatkan tarif hanya 10% dari AS.
“Seluruh negara ASEAN hampir selesai (negosiasi) dan negara-negara ASEAN, kecuali Singapura, tarifnya paling rendah 19%,” kata dia.
Airlangga menuturkan, Indonesia berpeluang besar bersaing di pasar ekspor Amerika Serikat (AS) terutama dibandingkan negara-negara pesaing seperti India.
Lantaran selama ini India dikenal sebagai salah satu kompetitor Indonesia di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).
Sedangkan India dikenakan tarif impor sebesar 25% oleh AS. India dikenal sebagai salah satu kompetitiro Indonesia dalam sektor TPT.
Airlangga menilai kebijakan tarif baru ini justru membuka peluang untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar Negeri Paman Sam. Apalagi, sejumlah komoditas unggulan Indonesia yang tidak diproduksi di AS diberi tarif lebih rendah.
Ya kan kalau semua level of playing field, berarti yang ditingkatkan daya saing saja, dan beberapa komoditas kita yang memang AS tidak produksi diberi tarif lebih rendah, jelasnya.
Beberapa komoditas yang mendapat tarif impor nol persen adalah konsentrat tembaga (copper concentrate) dan katoda tembaga (copper cathode). Hal ini sejalan dengan diskusi strategis terkait perdagangan mineral antara kedua negara.
Bahkan untuk copper concentrat, copper cathode di nol (persen) kan. Jadi itu yang sejalan dengan pembicaraan untuk mineral strategis antara lain copper dan itu AS sudah umumkan juga. Jadi itu yang Indonesia sebut industrial comodities, jadi secondary process sesudah ore, sudah sejalan dengan apa yang kemarin diumumkan juga oleh menteri perdagangan dari Gedung Putih, ungkap Menko.