Jakarta Aturan yang mengatur cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK), pembatasan Gula-Garam-Lemak (GGL), zonasi penjualan rokok, hingga rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sebagai rancangan aturan turunannya dinilai berpotensi menekan sektor industri strategis dan menggerus daya beli masyarakat, sehingga menghambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani, menegaskan perlunya deregulasi terhadap aturan yang menghambat industri. Ia menyoroti bahwa kebijakan yang terlalu ketat justru dapat mendorong peralihan konsumsi masyarakat ke produk-produk yang lebih murah, bahkan ilegal
. Hal ini tidak hanya menggerus pendapatan industri legal, tetapi juga menurunkan potensi penerimaan negara dari cukai, PPN, dan pajak lainnya, yang dapat memperlemah basis fiskal negara.
Padahal, selama ini, pemasukan dari industri hasil tembakau (IHT) menjadi salah satu pembiayaan pembangunan nasional. “Jika tidak ada revisi atau penyesuaian kebijakan, maka target ambisius pertumbuhan ekonomi 8 persen akan semakin sulit dicapai, katanya dikutip Selasa (20/5/2025).
Shinta juga menekankan bahwa sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) dan industri makanan-minuman merupakan tulang punggung sektor manufaktur yang padat karya. Kedua sektor ini tidak hanya menyerap jutaan tenaga kerja, tetapi juga menyumbang signifikan terhadap penerimaan negara.
IHT dan industri makanan minuman mewakili sektor padat karya yang masih produktif berkontribusi kepada penyerapan tenaga kerja, sekaligus kontribusi fiskal penerimaan negara, sehingga perlu bijaksana dalam menerapkan regulasi yang berpotensi mengurangi kinerja atau produktivitasnya, tambahnya.