Jakarta Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti fenomena jumlah hari libur nasional dan cuti bersama di Indonesia yang mencapai 27 hari pada tahun 2025. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan hari libur terbanyak di kawasan ASEAN.
Di satu sisi, masyarakat menyambut gembira keputusan ini. Industri pariwisata bersiap panen, sementara para pekerja menikmati aroma rehat panjang.
Namun di sisi lain, para ekonom, pelaku usaha, dan pemerhati kebijakan publik mengernyitkan dahi: apakah ini berarti kita sedang menabur benih bagi menurunnya produktivitas nasional?, kata Achmad kepada Rabu (4/6/2025).
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Data International Labour Organization (ILO) tahun 2023 mencatat produktivitas pekerja Indonesia hanya USD23,3 per jam kerja, jauh tertinggal dibanding Malaysia (USD30,1) dan Singapura (USD68,6).
Fakta ini menunjukkan bahwa permasalahan utama bukan sekadar pada jumlah jam kerja, melainkan efektivitas dan struktur kerja yang ada. Achmad mengibaratkan kondisi ini seperti pabrik dengan mesin yang terlalu sering dimatikan akibat libur panjang.
Mesin itu memang tidak rusak, tapi untuk mencapai suhu optimal, ia butuh pemanasan ulang yang memakan waktu dan energi, ujarnya.
Menurutnya, terlalu sering jeda kerja menyebabkan penurunan ritme, inefisiensi, dan tingginya biaya tersembunyi seperti adaptasi ulang serta koordinasi yang terganggu antar-unit. Namun begitu, bukan berarti solusi dari masalah ini adalah memangkas jumlah libur.