Jakarta – Di berbagai tempat, mulai dari ruang kelas hingga ruang rapat, kita sering mendengar nasihat yang sama: “Jadilah dirimu sendiri.”
Keaslian dianggap sebagai kunci untuk membangun koneksi, meraih kesuksesan karier, dan menjalani hidup yang bermakna. Di tengah kemajuan teknologi seperti terapis berbasis Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan barista robot, sisi kemanusiaan justru menjadi aset paling berharga.
Namun, nasihat itu justru menyesatkan.
Sebagai psikoterapis berlisensi, penulis buku The Science of Stuck dan Align Your Mind, serta pembicara utama perusahaan, Britt Frank kerap menyaksikan bagaimana orang bingung memahami apa sebenarnya arti dari menjadi autentik, dilansir dari CNBC Make It, Jumat, 253/7/2025).
Faktanya, tekanan untuk selalu tampil “apa adanya” justru kerap membawa lebih banyak dampak negatif daripada manfaat.
Mengapa Keaslian Sering Kali Diromantisasi
Kalimat “jadilah dirimu sendiri” memang terdengar menginspirasi, tetapi jika ditelaah lebih dalam, nasihat ini tidak selalu relevan dalam semua situasi. Bahkan, dalam sejumlah kondisi, pesan tersebut justru cenderung menyederhanakan kompleksitas kehidupan. Berikut beberapa alasannya:
Kita Bukan Satu-Satunya Versi Diri
Setiap orang memiliki beragam sisi dalam diri sendiri, hal yang bisa dirasakan siapa saja yang pernah mengalami konflik batin. Misalnya, satu bagian dari dirimu mungkin semangat untuk pergi ke gym, tapi sisi lainnya hanya ingin rebahan dan menonton serial favorit.
Mengalami kontradiksi semacam ini bukan tanda kemunafikan, melainkan bagian dari menjadi manusia. Ingat kembali saat terakhir kamu ragu mengambil keputusan: mungkin kamu ingin menyampaikan pendapat di rapat, tapi pada saat yang sama takut dinilai orang lain. Perdebatan batin itu menandakan pikiran kita adalah ekosistem yang kompleks, terdiri dari beragam dorongan, emosi, dan keinginan, bukan satu identitas tetap yang konsisten.