Jakarta – Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menyuarakan keraguan terhadap penggunaan frasa Ibu Kota Politik dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025. Perpres tersebut merupakan revisi dari aturan sebelumnya yang membahas Rencana Kerja Pemerintah.
Menurut Khozin, frasa tersebut tidak sejalan dengan Undang-Undang IKN yang hanya menyebutkan fungsi pusat pemerintahan.
Di UU IKN spirit yang kita tangkap menjalankan fungsi pusat pemerintahan sebagaimana terdapat di Pasal 12 ayat (1) UU No 21 Tahun 2023 tentang IKN. Tidak ada sama sekali menyebut frasa Ibu Kota Politik, kata Khozin.
Potensi Konsekuensi Politik dan Hukum
Khozin mendesak pemerintah untuk memberikan penjelasan detail tentang istilah baru ini. Ia menanyakan apakah Ibu Kota Politik memiliki makna yang sama dengan Ibu Kota Negara. Jika dimaknai sama, maka ada konsekuensi hukum dan politik yang besar.
Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN, pemindahan ibu kota negara secara resmi hanya bisa dilakukan melalui Keputusan Presiden.
Khozin menekankan bahwa jika ibu kota negara sudah secara definitif pindah dari Jakarta ke IKN, semua pihak harus bersiap. Implikasi politik dan hukum akan muncul ketika Ibu Kota Negara secara definitif pindah dari Jakarta ke IKN, ujarnya.
Ia menambahkan, perpindahan ibu kota negara akan menjadi agenda bersama bagi seluruh lembaga, termasuk yang berada di luar pemerintahan maupun lembaga internasional yang beroperasi di Indonesia.
Saran untuk Hindari Kebingungan Publik
Khozin menyarankan bahwa jika yang dimaksud dengan Ibu Kota Politik adalah pusat pemerintahan, pemerintah sebaiknya tidak perlu menciptakan istilah baru. Penggunaan istilah baru ini berpotensi membingungkan masyarakat.
Jika yang dimaksud ibu kota politik itu tak lain adalah pusat pemerintahan, sebaiknya tak perlu buat istilah baru yang menimbulkan tanya di publik, pungkasnya.