Jakarta – China harus menambahkan stimulus baru hingga 1,5 triliun yuan atau USD 209 miliar. Jumlah itu setara Rp 3.388 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.214). Stimulus baru itu untuk mendorong belanja konsumen dan mempertahankan fleksibilitas mata uang untuk mengimbangi hambatan tarif AS terhadap pertumbuhan, menurut akademisi, termasuk seorang penasihat bank sentral negara itu.
Mengutip Yahoo Finance, ditulis Sabtu (11/7/2025), ekonomi China telah menghadapi “gangguan baru” sejak April akibat kenaikan pungutan di samping deflasi yang terus menerus, berdasarkan laporan Huang Yiping, anggota komite kebijakan moneter bank sentral China dan dua pakar lainnya.
Untuk mengatasi tantangan yang terus berkembang ini, China harus mengadopsi pendekatan kontra-siklus yang lebih tegas untuk mempertahankan pertumbuhan yang stabil, sembari terus bergerak maju secara agresif melalui reformasi struktural,” kata para penulis, termasuk mantan pejabat People’s Bank of China (PBOC), Guo Kai dan Direktur the East Asian Institute at the National University of Singapore, Alfred Schipke.
Pemerintah harus mempertimbangkan paket tambahan 1-1,5 triliun yuan selama 12 bulan untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga guna memitigasi dampak buruk tarif AS sebesar 20%-30% terhadap perekonomian, tulis mereka.
Angka ini dibandingkan dengan 300 miliar yuan yang direncanakan pemerintah pusat untuk dipinjam tahun ini dengan menjual obligasi khusus negara ultra-panjang untuk mensubsidi pembelian konsumen dalam inisiatif andalannya untuk meningkatkan belanja.
Para ekonom secara umum memperkirakan Beijing akan melonggarkan kebijakan lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang untuk melindungi perekonomian dari potensi penurunan ekspor akibat tarif Presiden AS Donald Trump dan pengawasan ketat Washington atas pengalihan rute pengiriman dari Tiongkok.