Jakarta Pemerintah berencana kembali menggulirkan enam program insentif guna menjaga pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II (Q2) tahun 2025 tetap berada di kisaran 5 persen.
Program ini dirancang untuk memanfaatkan momentum liburan sekolah pada bulan Juni–Juli 2025, dengan tujuan utama menjaga daya beli masyarakat serta meningkatkan konsumsi domestik melalui berbagai stimulus ekonomi.
Namun, rencana ini menuai catatan kritis dari kalangan akademisi dan pengamat kebijakan publik. Salah satunya datang dari Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, yang menilai bahwa kebijakan fiskal tidak seharusnya dilakukan secara tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang.
Kebijakan fiskal bukanlah arena eksperimen dadakan. Ia membutuhkan ketelitian layaknya ahli bedah, bukan kecerobohan tukang tambal ban, kata Achmad kepada www.wmhg.org, Rabu (28/5/2025).
Pentingnya Kajian
Ia menekankan bahwa pemberian stimulus ekonomi tanpa kajian yang komprehensif merupakan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi, terutama Pasal 23 UUD 1945 yang mengamanatkan pengelolaan keuangan negara secara hati-hati dan bertanggung jawab.
Stimulus tanpa kajian adalah pengkhianatan terhadap konstitusi, khususnya Pasal 23 UUD 1945 yang mewajibkan pengelolaan anggaran secara prudent, ujarnya.
Jika pemerintah bersikeras pada jalur ini, kita tak hanya mempertaruhkan stabilitas makroekonomi, tetapi juga mengubur masa depan generasi mendatang di bawah gunung utang yang tak bertuan, tambahnya.