Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melalui data terakhir Sensus Pertanian 2023 melaporkan, jumlah petani terus menyusut dalam 10 tahun terakhir. Dengan jumlah sekitar 29,36 juta unit usaha petani, turun 7,42 persen dari 31,72 juta unit usaha pada 2013.
Secara prosentase, jumlah tenaga kerja informal di sektor pertanian juga lebih besar dibanding formal. Data BPS terakhir mencatat, jumlah tenaga kerja pertanian informal pada 2024 sebesar 87,31 persen.Â
Khususnya di wilayah Papua, dengan jumlah pekerja informal di bidang pertanian mencapai 95-99 persen. Hanya di dua provinsi angkanya di bawah 70 persen, yakni Kalimantan Tengah (62,30 persen) dan Kepulauan Riau (69,84 persen).
Data-data tersebut mengikuti nilai tukar petani (NTP), atau indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani, yang menunjukan adanya penurunan pasca melewati Maret 2025.Â
Merujuk hitungan BPS, nilai tukar petani secara nasional mencapai puncaknya pada Maret 2025 di angka 124,48. Lebih tinggi dibandingkan Januari 2025 (124,43) dan Februari 2025 (124,17). Namun di April 2025, NTP merosot drastis jadi 121,75.
Kesejahteraan petani ini selaras dengan penurunan indeks harga yang diterima petani. Pada April 2025 angkanya berada di level 151,15, turun jauh dari Maret 2025 sebesar 153,27. Adapun pada Januari 2025 perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani berada di angka 151,73, dan 150,92 pada Februari 2035.
April 2025 Masih Musim Panen
Padahal menurut kalkulasi, puncak musim panen terjadi pada Maret-April 2025, dengan produksi gabah diperkirakan mencapai 18 juta ton. Hal ini turut dibuktikan oleh data BPS seputar produksi padi.
Menurut catatan itu, produksi padi secara nasional pada Maret 2025 mencapai 8,93 juta ton. Jauh lebih tinggi dibanding Januari 2025 (2,15 juta ton) dan Februari 2025 (3,87 juta ton).
Angkanya diprediksi masih akan naik pada April 2025, mencapai 9,21 juta ton. Namun kemudian akan perlahan turun pada Mei 2025 (4,55 juta ton) dan Juni 2025 (3,84 juta ton).Â