Jakarta Aisha Nadia memulai bisnis batik bernama Dimas Batik sejak 1987. Berlokasi di Indihiang, Tasikmalaya, hingga kini, Dimas Batik menjadi satu-satunya perajin batik tulis di Tasikmalaya yang masih setia menggunakan malam atau lilin dalam setiap proses produksinya.
Di tengah derasnya arus modernisasi dan gempuran teknik printing dalam industri batik, Dimas Batik tetap teguh menjaga warisan budaya batik tulis tradisional.
Saat ini, Dimas Batik yang merupakan UMKM binaan PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Barat mempekerjakan 25 pembatik, terdiri dari 15 orang yang bekerja menetap di pabrik, dan 10 ibu rumah tangga yang membatik dari rumah sembari tetap mengurus keluarga.
Kami ingin mempertahankan tradisi, tapi juga memberi ruang bagi ibu-ibu agar bisa tetap produktif tanpa meninggalkan peran utama mereka di rumah, ujar dia.
Perjalanan Aisha merintis usaha ini tidaklah mudah. Ia mengenang masa-masa awal ketika harus membawa karung berisi kain batik untuk bertemu calon pembeli, hingga pernah diusir satpam karena disangka pemulung. Waktu itu saya tidak punya kendaraan. Tapi saya tahu, saya membawa warisan budaya yang berharga, kenangnya.
Dua bulan sebelum pandemi COVID-19, Aisha menerima bantuan pendanaan UMK sebesar Rp50 juta dari Pertamina. Dana tersebut digunakan untuk membeli sebidang tanah di pinggir jalan yang kini menjadi galeri permanen Dimas Batik.
Tak disangka, justru di masa pandemi, permintaan melonjak tajam dari desainer-desainer ternama di Bandung dan Jakarta, yang memasok pakaian untuk pejabat negara dan selebriti nasional.